Revolusi ”Huller” Kopi Generasi Ketiga
Sudah puluhan tahun, mesin dengan panjang sekitar 1 meter dan tinggi 70 sentimeter itu teronggok di tengah bengkel karena rusak. Beberapa bagian mesin buatan tahun 1923 itu pun hilang, termasuk corong tempat meletakkan biji kopi.
Walau sudah usang dan tidak lagi difungsikan, mesin ini merupakan cikal bakal terciptanya mesih huller kopi modern yang ada saat ini. Menurut Muladto, menantu Arpani, yang juga pembuat huller, mesin itu dibeli dari seseorang di pedalaman Lahat, Sumatera Selatan. ”Waktu itu, Bapak membelinya sekitar Rp 2 juta dalam kondisi sudah tidak layak. Mesin kemudian diperbaiki,” katanya.
Dari sisi bobot, mesin ini memang terlalu besar. Bobotnya sekitar 500 kilogram. Butuh tenaga beberapa orang untuk mengangkatnya. Namun, jangan ragukan kemampuannya. Mesin ini dapat mengolah 1 ton biji kopi hanya dalam waktu satu jam.
Di masa kejayaannya, mesin ini digunakan perusahaan perkebunan kopi milik Belanda yang menanam biji kopi pada beberapa daerah di Pagar Alam. Oleh karena terlalu berat dan harganya cukup mahal, maka hanya beberapa orang yang memilikinya. Berdasarkan cerita mertua Arpani, Sarbin, dulunya mesin ini hanya ditempatkan di kantor perwakilan pemerintahan. Petani harus membawa biji kopinya untuk diolah di tempat tersebut.
Sarbin pun memiliki kemampuan mengoperasikan mesin huller dari orangtuanya, Kamid, yang merupakan seorang mekanik andalan perusahaan milik Pemerintah Belanda yang membuka perkebunan (onderneming) di Pagar Alam. Awalnya, Mbah Kamid diboyong dari Surabaya, Jawa Timur, untuk dijadikan teknisi mesin perkebunan teh dan kopi di Pagar Alam, Sumatera Selatan, tahun 1944.
Saat itu, Belanda memiliki ratusan hektar hamparan tanaman kopi yang diolah dengan menggunakan mesin huller yang bobotnya sangat berat. Bahan baku huller saat itu pun berasal dari besi yang didatangkan langsung dari Negeri Kincir Angin. Bobotnya saat itu masih sekitar 500 kilogram per unit. Berbekal dari kemampuannya tersebut, Mbah Kamid menularkannya kepada anaknya, Sarbin.
Saat ditangani Sarbin, mesin huller pun terus berevolusi, dari yang semula hanya bisa ditanam di suatu tempat karena bobotnya yang berat. Berbagai percobaan dilakukan hingga pada 1990, Sarbin menemukan cara untuk membuat huller dengan bahan yang lebih ringan, yakni dengan baja ringan dan pelat. Hal ini membuat mesin huller paling sederhana yang berkapasitas 5 PK hanya berbobot sekitar 60 kg.
Mesin huller itu bisa digunakan di mana pun karena dapat dipindahkan dengan mudah. ”Mesin huller berkapasitas 5 PK saat ini kerap digunakan petani untuk mengupas biji kopi kering,” kata Muladto.
Sekarang, mesin huller buatan keluarganya tersebut kerap digunakan petani setempat untuk mengolah kopi. Muladto pun mengajak Kompas melihat pengolahan kopi di Desa Talang Mengkenang, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sepuluh tahun sebelumnya, petani di desa ini banyak mengupas biji kopi dengan cara tradisional, mulai dengan menumbuk kopi atau meletakkan buah kopi di jalan dan membiarkannya tergilas kendaraan yang lewat.
Namun, sejak ada mesin huller, petani memilih untuk memilikinya sendiri. Mereka menyimpannya di belakang rumah. Selain dipergunakan sendiri, mereka juga menyewakan mesin kepada orang lain dengan bayaran berupa biji kopi kering.
Richard (40), petani kopi dari Desa Mengkenang, mengatakan, setelah melakukan pemetikan dan penjemuran sekitar 12 hari, biasanya dia akan datang ke rumah pemilik huller. Di sana, dia mengupas biji kopi kering yang dibayar juga dengan biji kopi. Setiap 14 kg biji kopi yang dikupas, pemilik huller berhak mendapatkan 100 gram biji kopi. Terkadang, pemilik huller juga memungut biaya tunai dengan besaran tarif jasa pengupasan biji kopi Rp 100 per kilogram.
Mesin huller berkapasitas 5 PK juga bisa dibawa ke lokasi lain untuk mengupas biji kopi yang sudah kering. Mesin ditarik dengan sepada motor. Pengupasan hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mengupas 12 kg biji kopi kering. Kondisi ini sungguh meringankan petani karena salah satu bagian dari proses pascapanen kopi ini pun berlangsung cepat.
Setelah huller dijual para perajin huller di Pagar Alam, ujar Muladto, pihaknya kini juga tengah mengembangkan sejumlah peralatan pengupasan buah kopi basah, yakni pulper. Alat ini digunakan untuk memisahkan kulit biji kopi yang memiliki kadar air tinggi, yakni 30 persen atau yang hanya dijemur 2-5 hari, dan kadar air 15 persen yang dijemur baru seminggu.
Dengan menggunakan pulper, biji kopi bisa dipisahkan dari buahnya. Teknologi ini membantu petani yang ingin segera menjual kopinya. Tanpa bantuan pulper, petani membutuhkan waktu minimal dua pekan baru bisa menjual kopinya. ”Sekarang masih dalam pengkajian, mudah-mudahan tahun ini bisa dijual segera,” katanya.
Inovasi ini dilakukan karena banyak petani menjual biji kopi basah akibat terdesak kebutuhan ekonomi atau kondisi cuaca yang tidak mendukung. ”Terkadang mereka hanya menjemur kopi selama dua sampai lima hari, lalu langsung menjual karena membutuhkan uang. Dengan pangsa pasar tersebut, diharapkan keberadaan pulper dapat diminati petani.
Kini, di tengah gairah mendongkrak kopi Nusantara, tentu keberadaan perajin huller merupakan fakta yang luar biasa. Itu menjadi salah satu modal utama menuju kemajuan komoditas tersebut di suatu wilayah.
Adanya mesin pengupas kopi akan sangat membantu petani dalam penanganan biji kopi pascapanen sehingga petani mampu mendapatkan hasil yang lebih baik dan optimal. ”Untuk itu, semua pihak harus didorong untuk terus berinovasi guna memberikan kemudahan dan nilai tambah yang besar bagi kopi sesuai perkembangan pasar,” kata Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed.