JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah telah meregistrasi 8.000 perusahaan pengembang dan 16 asosiasi pengembang. Setelah proses registrasi, pemerintah akan menyertifikasi pengembang.
Asosiasi pengembang menyatakan, sertifikasi bagi pengembang tak bisa sembarangan.
“Jadi, asosiasi perusahaan pengembang itu akan diakreditasi dan diregistrasi (oleh pemerintah). Untuk pengembang akan dilakukan dua hal, yaitu registrasi dan sertifikasi,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin, Kamis (17/5/2018), di Jakarta.
Pemerintah mulai meregistrasi pengembang sejak awal tahun ini. Tujuan utamanya, memastikan kualitas bangunan, terutama rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang mendapat subsidi dari pemerintah. Nantinya, hanya pengembang yang teregistrasi di asosiasi dan pemerintah yang diperbolehkan menyalurkan kredit rumah subsidi, baik berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) maupun subsidi selisih bunga (SSB).
Menurut Syarif, pemerintah memiliki kewenangan untuk melaksanakan registrasi, sertifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi terhadap perusahaan pengembang. Setelah pengembang diregistrasi, pihaknya akan menyertifikasi. Untuk itu, diperlukan payung hukum berupa Peraturan Menteri PUPR yang akan segera terbit.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, sertifikasi bagi pengembang lebih baik dilakukan asosiasi pengembang. Sebab, pengembang tidak sama dengan perusahaan konstruksi.
“Saya kira kami tidak bisa disertifikasi pihak lain karena kompetensi kami bukan hanya membangun. Kami harus bisa membebaskan tanah, membangunnya, juga harus bisa menjual. Pada akhirnya, kompetensi kami ini lebih ke penciptaan nilai,” kata Soelaeman.
Anggota REI saat ini berjumlah 5.200 perusahaan, yang terdiri dari 4.000 pengembang yang bergerak di perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta 1.200 perusahaan properti komersial dan perusahaan yang bukan pengembang properti.