JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian ekonomi global berlanjut. Di sektor finansial, upaya menyeimbangkan kembali likuiditas global sedang terjadi karena sejumlah negara maju, terutama Amerika Serikat, membutuhkan tambahan likuiditas.
Penyeimbangan likuiditas itu diperkirakan bersifat permanen sehingga berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah dan berdampak pada sistem keuangan nasional. Pemangku kepentingan dan pelaku industri jasa keuangan perlu berkoordinasi dan mengantisipasi tantangan tersebut bersama-sama.
Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo dalam peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 30 Edisi Maret Tahun 2018 bertema ”Penguatan Stabilitas Sistem Keuangan dalam Upaya Menjaga Momentum Pertumbuhan” di Jakarta, Jumat (18/5/2018).
Menurut Agus, AS membutuhkan likuiditas untuk menutup defisit transaksi berjalannya. Imbal hasil obligasi Pemerintah AS (US Treasury Bond) tenor 10 tahun sudah naik dari 2,4 persen menjadi 3 persen. Imbal hasil itu diperkirakan akan naik menjadi 4 persen pada tahun ini dan 5 persen pada tahun depan.
”Akan banyak dana dari negara-negara berkembang yang keluar menuju AS. Hal ini harus kita antisipasi bersama. BI berupaya mengatasinya melalui bauran kebijakan. Salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan,” katanya.
Dewan Gubernur BI, Kamis (17/5/2018), menaikkan suku bunga acuan BI atau BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen.
Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto menambahkan, tantangan eksternal lain adalah dampak perang dagang antara AS-China terhadap pertumbuhan ekonomi global. Jika terus meningkat dan berlanjut, perang dagang dapat mengurangi produk domestik bruto (PDB) global sebesar 0,3 persen.
”Di dalam negeri, inflasi akibat kenaikan bahan pokok, harga minyak mentah, dan pelemahan rupiah perlu terus dikendalikan. Selain itu, kondisi global itu juga dapat berisiko terhadap neraca pembayaran kita,” kata Erwin.
Melemah
Sehari setelah suku bunga acuan BI naik, nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (18/5/2018) sebesar Rp 14.107 per dollar AS atau melemah dari Kamis yang sebesar Rp 14.074 per dollar AS.
Nilai tukar rupiah kemarin merupakan yang terlemah sejak 7 Oktober 2015. Pada 6 Oktober 2015, nilai tukar rupiah Rp 14.382 per dollar AS. Pada penutupan perdagangan kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,561 persen ke posisi 5.783,31. Sejak awal tahun, IHSG sudah melemah 9,01 persen.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, situasi perekonomian domestik dan global lebih banyak memengaruhi pergerakan IHSG ketimbang pelemahan nilai tukar rupiah. ”Sampai dengan 19 Februari, IHSG masih naik gila-gilaan meskipun rupiah sudah melemah. Hal yang berdampak pada pelemahan IHSG adalah ketidakpastian ekonomi dari dalam negeri dan luar negeri,” ujarnya.
Dampak negatif
Kenaikan suku bunga acuan BI, menurut Tito, justru berdampak negatif terhadap kinerja sejumlah emiten. Sebab, beban bunga kredit berpotensi naik setelah suku bunga acuan naik. Momentum menaikkan suku bunga acuan, menurut dia, sudah berlalu.
Bank sentral AS, The Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 1,5 persen-1,75 persen pada Maret. Bank sentral China juga menaikkan suku bunga acuan 5 basis poin dari 2,5 persen menjadi 2,55 persen pada akhir 2017.
Meski demikian, Tito tetap mengapresiasi keputusan BI menaikkan suku bunga acuan. Sebab, BI bertanggung jawab menahan gejolak nilai tukar.
Akan tetapi, pasar saham tetap memerlukan sentimen lain. ”Penyesuaian suku bunga memang hal yang perlu segera dilakukan untuk menenangkan gejolak nilai tukar. Tapi, tetap saja dibutuhkan bauran kebijakan lain untuk stabilitas IHSG,” ujarnya.
Analis Phintraco Sekuritas, Valdy Kurniawan, berpendapat, pemerintah dan BI perlu mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas ekonomi makro. Kebijakan tersebut juga bermanfaat bagi stabilitas sistem keuangan seiring pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.
”Mayoritas investor menunggu sentimen-sentimen lain, terutama yang berdampak pada penguatan nilai tukar dollar AS,” katanya.
Ia menilai wajar kenaikan suku bunga acuan BI yang tidak berdampak pada IHSG. Sebab, investor sudah memperkirakan langkah BI.