Mengubah Batang Kayu Jadi Mebel Indah
Herlan (64) menciptakan mebel-mebel nan indah dari batang dan dahan tanaman perkebunan sejak tahun 2002. Produknya digemari pembeli dari dalam negeri dan luar negeri.
Warga Dusun II FD Ring I Talang Darat, Kecamatan Pagaralam Selatan, Kota Pagaralam, Sumatera Selatan itu menekuni usahanya bertepatan dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Pagaralam meremajakan kebun tehnya. Saat itu, banyak tanaman lama yang dibuang percuma.
Merasa sayang dengan tanaman yang dibuang itu, Herlan membawa pulang beberapa batang tanaman teh. "Saat itu, saya belum terpikir, mau saya apakan limbah tersebut," kata Herlan saat disambangi di bengkel mebelnya, Minggu (13/5/2018).
Ketika itu, banyak warga yang menganggap dia aneh karena membawa pulang limbah. Namun, ia tidak marah. Sebaliknya, dia bekerja keras mengolah limbah tanaman teh menjadi karya yang berguna. Akhirnya, terbesit ide untuk mengubah batang tanaman teh menjadi mebel.
Tak seorang pun mengajarinya membuat mebel. Semua proses itu dilakukan secara otodidak. Berulang kali proses pembuatan mebel gagal. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari batang yang patah dan rapuh, serta bentuk mebel yang tidak sesuai. Namun, kegagalan itu tidak membuatnya patah arang. Herlan tak henti mencoba.
Setelah berkali-kali gagal, Herlan akhirnya menemukan solusi. Batang teh yang rapuh diperkuat dengan cara direncam di air selama 1-2 tahun. Untuk menjaga agar batang tidak patah, sambungan kayu dilakukan melalui urat-urat kayunya.
Dengan telaten, dia menyusun dan membentuk batang tanaman teh menjadi meja, kursi, asbak, dan pernak-pernik rumah tangga lainnya. Kadang kala, batang tanaman teh itu dipadukan dengan kayu mahoni atau cemara.
Beralih ke kopi
Pesanan demi pesanan berdatangan. Namun, pada 2006, bahan baku habis karena PTPN VII tidak lagi meremajakan kebun teh. Herlan pun memutar otak untuk mencari bahan baku alternatif.
Beruntung, kala itu, banyak petani kopi di sekitar rumahnya yang meremajakan kebun mereka. Batang pohon kopi yang sudah tidak digunakan petani pun diminta Herlan. Para petani kopi tersebut mempersilakan.
"Mereka kira batang kopi itu hanya dijadikan kayu bakar. Mereka tidak tahu kalau batang kopi itu akan saya dijadikan sebagai bahan baku membuat mebel," katanya.
Namun, pada 2008, para petani itu tahu bahwa batang-batang kayu tersebut dibuat menjadi mebel. "Akhirnya, saya membeli batang pohon kopi seharga Rp 3,5 juta demi mendapatkan 5 kubik sampai 8 kubik batang kopi," kata dia.
Penggunaan batang kopi ternyata lebih baik dari batang teh. Kayunya lebih kuat dan tahan terhadap rayap. Pola pengerjaan pun hampir sama.
Herlan merendam kayu selama satu tahun di lumbung yang ada di dekat rumahnya, menjemur selama satu minggu, kemudian kayu itu dibentuk sesuai pesanan. Pada tahap akhir, kayu dipernis.
Dengan pola pengerjaan ini, Herlan menjamin produknya tahan lama. Untuk membuktikan hal itu, dia sengaja mempertahankan mebel hasil buatan pertamanya di rumah yang ia buat bertahun-tahun lalu.
“Saya ingin melihat seberapa lama mebel buatan saya bertahan. Buktinya, hingga sekarang tidak ada masalah,” kata Herlan, memperlihatkan mebel pertamanya berupa meja, kursi, dan lemari pajangan.
Untuk membuat satu unit mebel yang terdiri dari satu meja dan empat kursi. Herlan membutuhkan waktu hingga 1 minggu.
Harga tergantung dari kualitas dan bentuknya. Satu set mebel ukuran kecil seharga Rp 3,5 juta, sedangkan untuk ukuran besar bisa mencapai Rp 9 juta. Dalam satu bulan, Herlan mampu meraup omzet hingga Rp 38 juta.
Pembelinya beragam, mulai dari warga biasa hingga pejabat sekelas menteri.
"Mereka biasanya datang sekaligus untuk berwisata di Gunung Dempo," kata Herlan.
Namun, produk mebel ini juga dipesan pedagang yang akan menjualnya lagi. "Di Palembang, satu set produk saya bisa dijual dengan harga Rp 15 juta-Rp 20 juta," ujarnya.
Tidak hanya di Palembang, produknya sudah dipesan di beberapa kota di Indonesia, mulai dari Jakarta, Bengkulu, Jambi, dan Riau. Bahkan, satu tahun lalu, ada wisatawan dari Arab dan Australia yang memesan produknya.
Kendati pemesanan meningkat, saat ini Herlan masih terbentur hak paten. Produk yang diberi nama Putri Kejora itu belum dipatenkan sehingga tidak bisa dipasarkan secara komersial ke luar negeri.
Beberapa waktu lalu ada seorang eksportir menawari untuk memasarkan produk ke beberapa negara. Namun, rencana tersebut belum terwujud karena produknya belum dipatenkan.
"Terus terang saya tidak mengerti bagaimana proses mematenkan produk," lanjut pria lulusan SMP itu.
Humas PTPN VII Pagaralam Sugianto yang ditemui terpisah menuturkan, Herlan merupakan salah satu dari beberapa mitra binaan PTPN VII. Pihaknya selalu mengajak Herlan untuk ikut serta dalam pameran yang melibatkan PTPN di berbagai kota. Tawaran untuk memasarkan produk ke luar negeri pun datang saat ikut pameran di Jakarta beberapa waktu lalu. "Saat itu, eksportir bersedia memesan barang dengan nilai Rp 100 juta setiap bulannya. Namun karena produk tersebut belum dipatenkan, pesanan itu pun ditunda," kata dia.
Ketiadaan hak paten membuat Herlan berhati-hati terhadap kemungkinan produknya ditiru pihak lain. Ia berharap, ada bantuan untuk memroses hak paten atas karyanya tersebut.