Diplomasi Kebun Sawit
Sawit bukan semata-mata bisnis. Mengelola sawit berarti mengelola pula keanekaragaman hayati dan sosial-ekonomi masyarakat, serta tidak merambah hutan. Ketika berkunjung ke Jambi, Delegasi Uni Eropa ingin Indonesia lebih serius mengelola sawit secara berkelanjutan.
"Kami sudah berupaya menjaga hutan karena hutan adalah rumah kami. Namun kerap kali kami tidak berdaya menghadapi masyarakat lain yang merambah hutan yang kami jaga," kata Muhammad (35), perwakilan masyarakat adat suku batin sembilan di Hutan Harapan, Kabupaten Batanghari, Jambi, pekan lalu.
Hutan Harapan merupakan proyek restorasi hutan hujan tropis di perbatasan Provinsi Jambi- Sumatera Selatan yang mempunyai luas sekitar 98.555 hektar (ha). Seluas 52.170 ha berada di wilayah Banyuasin, Sumatera Selatan, serta 46.385 ha di Batanghari dan Sarolangun, Jambi. Sejak 2006, konsorsium PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) memperoleh konsesi dari pemerintah untuk merestorasi hutan itu.
Muhammad menuturkan, suku batin sembilan telah berupaya mengubah pola hidup dari semula nomaden menjadi bertempat tinggal secara bertahap. Mereka mendapat lahan seluas satu hektar untuk menanam karet.
Namun, mereka terkendala modal untuk membudidayakan karet. Mereka juga dibekali keterampilan cara-cara mengolah hasil hutan, seperti karet, jelutung, dan pandan hutan. Di saat mereka taat menjaga kelestarian hutan, masyarakat lain justru merambah hutan yang mereka lestarikan.
“Ini tidak adil. Para pendatang justru merusak hutan yang kami lestarikan untuk ditanami sawit. Ini menunjukkan penegakan hukum masih belum maksimal,” kata dia.
Muhammad menyampaikan hal itu saat berdialog dengan Delegasi Uni Eropa (UE). Delegasi itu terdiri dari 13 duta besar dan perwakilan Kedutaan Besar UE, Austria, Denmark, Jerman, Irlandia, Polandia, Swedia, Belanda, dan Inggris. Mereka berkunjung ke perkebunan sawit yang dikelola swasta dan badan usaha milik negera, demplot penelitian Collaborative Research Center (CRC) 990, dan kawasan restorasi hutan hujan tropis Hutan Harapan.
Kunjungan itu terkait dengan program Excecutive Oil Palm for Ambassadors yang difasilitasi Kementerian Luar Negeri dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit di Jambi pada 15-19 April 2018. Melalui program itu, Indonesia ingin memberikan gambaran konkret tentang sawit dan dampak positifnya terhadap ekonomi Indonesia, daerah, lingkungan, dan sosial atau petani.
Dalam kunjungan itu, Delegasi UE juga bertemu dengan sejumlah petani sawit. Mereka menilai upaya pengelolaan sawit Indonesia sudah baik. Petani dan masyarakat sekitar hutan dilibatkan. Penelitian tentang keanekaragaman hayati, serapan air, dan produksi karbon di ekosistem sawit juga dilakukan.
Namun masih ada beberapa catatan dari Delegasi UE. Selisih harga tanda buah segar (TBS) sawit yang bersertifikat dengan yang tidak bersertifikat masih kecil. Selisihnya rata-rata Rp 40 per kilogram.
Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Guerend mengatakan, memang Indonesia telah menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Namun, jumlah sawit yang bersertifikat itu baru 20 persen dari total produksi sawit Indonesia.
”Selain itu, Indonesia berencana untuk meningkatkan produksi sawit. Namun, UE berharap agar peningkatan produktivitas itu melalui intensifikasi lahan dan menjaga kelestarian keragaman hayati,” ujarnya.
Dari sisi perlindungan hutan, perambahan hutan lindung oleh masyarakat untuk membuka perkebunan sawit masih terjadi. Upaya menjaga keanekaragaman hayati juga dinilai masih kurang karena tidak mewadahi hewan-hewan besar yang dulu menjadi bagian dari ekosistem hutan.
UE merupakan pasar terbesar kedua untuk ekspor sawit dan produk turunannya. Berdasarkan data, Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC) nilai ekspor sawit Indonesia ke dunia sebesar 20 miliar dan sekitar 4 miliar dollar AS atau 20 persen ke UE. Ekspor sawit ke UE itu lebih banyak di dominasi produk turunan yaitu sebesar 80 persen, sedangkan sisanya berupa minyak sawit mentah.
Namun ke depan, ekspor sawit dan produk turunannya, terutama biodiesel, ke UE terancam berkurang. Hal itu menyusul keluarnya Resolusi UE berjudul “Palm Oil and Deforestation of Rainforests” pada 4 April 2017. Resolusi tersebut memuat mengenai dampak industri sawit terhadap deforestasi hutan hujan, yang salah satunya menyoroti Indonesia. Isu-isu yang tertuang dalam Resolusi UE itu antara lain industri sawit merupakan penyebab deforestasi dan kebakaran hutan; terdapat pelanggaran HAM pada industri kelapa sawit karena memperkerjakan anak; dan industri minyak sawit dinilai tidak berkelanjutan.
Pada tanggal 17 Januari 2018, Parlemen Eropa melakukan pemungutan suara tentang perubahan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED). Pada 2050, semua negara di wilayah UE akan menggunakan 100 persen sumber energi terbarukan yang tidak berbahan baku dari minyak nabati, terutama sawit. UE akan menerapkannya secara bertahap mulai 2021.
Kampanye positif
Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait tidak tinggal diam. Mereka membawa persoalan tersebut ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Selain itu, kampanye-kampanye positif tentang sawit dan produk turunannya terus dilakukan baik di Eropa maupun di Indonesia. Salah satunya adalah menggelar program kunjungan delegasi UE ke Jambi yang merupakan salah satu bentuk dari diplomasi kebun sawit Indonesia.
Kepala Pusat Pengembangan Kebijakan Kawasan Amerika-Eropa Kementerian Luar Negeri Leonard F Hutabarat mengatakan, melalui program itu Indonesia ingin menunjukkan kepada UE fakta-fakta pengelolaan sawit berkelanjutan. Fakta-fakta itu tidak hanya terungkap di lapangan tetapi juga dibuktikan secara ilmiah untuk melawan kampanye hitam sawit di UE.
Riset dilakukan oleh Universitas Jambi, Institut Pertanian Bogor, Universitas Tadulako, dan University of Göttingen, Jerman, di lahan seluas 1.000 hektar. Beberapa hasilnya adalah menerapkan tumpang sari di perkebunan sawit dan penelitian karbon.
“Pohon sawit yang muda atau baru berumur 2 tahun memang menjadi penghasil karbon. Namun, sawit yang sudah dewasa, berumur 12 tahun ke atas, justru menyerap karbon,” kata dia.
Sementara terkait dengan restorasi hutan, Presiden Direktur PT REKI Tonny R Suhartono mengatakan, sejak lima tahun terakhir seluas 10.850 hektar dari total luas Hutan Harapan dirambah masyarakat dari luar daerah yang mengatasnamakan masyarakat adat. Mereka menggunakan sebagian besar lahan itu untuk perkebunan kelapa sawit. Ada 20 kelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan hutan itu secara ilegal. Rata-rata hitungan kasar PT REKI dari hasil penjualan tandan buah segar sawit itu Rp 230 miliar per bulan.
“Dari 20 kelompok masyarakat itu, baru delapan kelompok yang telah mendantangai dan melaksanakan secara efektif kesepakatan bersama. Kesepakatan kemitraan kehutanan itu antara lain tentang penataan ruang, pembagian hasil tanaman, dan jangka waktu pemanfaatan lahan,” kata dia.
Salah satu kesepakatan itu misalnya, lanjut Tonny, sawit yang sudah terlanjur ditanam hanya diperbolehkan selama 12 tahun. Setelah itu, tanaman itu akan diganti dengan tanaman kehutanan. Kelompok masyarakat itu juga wajib menanam 100 tanaman kera per hektar.
Sementara, Guerend mengatakan, peluang pasar sawit Indonesia ke UE masih terbuka. Selama ini, Uni Eropa tidak pernah menghambat perdagangan dan mendiskriminasikan sawit dari Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu terus mengembangkan sawit secara berkelanjutan.
Pemungutan suara di Parlemen Eropa merupakan proses legislatif biasa. Hingga saat ini, proposal yang disetujui Parlemen Eropa itu masih belum final dan masih diperdebatkan. Dalam Resolusi UE itu, Parlemen Eropa telah menentukan sawit berdampak besar terhadap emisi rumah kaca. Namun, dalam pembahasan nanti, diupayakan mencapai kesepakatan yang bersifat nondiskriminatif.
”Kami juga telah menjelaskan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai hal itu. Kami tidak melanggar ketentuan WTO. Kami tidak menghambat perdagangan dengan menaikkan tarif, tidak mendiskriminasi, apalagi melarang perdagangan produk sawit,” katanya.
Arahan Energi Terbarukan itu, lanjutnya, merupakan salah satu upaya UE mengatasi perubahan iklim. UE tidak ingin terjadi deforestasi di negara-negara mitra UE. Untuk itu, sawit yang dinilai sebagai penyumbang emisi rumah kaca perlu dikelola secara berkelanjutan.