JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia berpotensi memberi dampak langsung terhadap sektor riil sehingga bisa menekan pertumbuhan kredit nasional. Perbankan diharapkan tidak terburu-buru dalam meningkatkan bunga kredit dan memperhatikan efisiensi dalam penyaluran kredit.
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Joshua Pardede, menilai kebijakan menaikan suku bunga acuan BI atau BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen dapat berdampak langsung pada kinerja kredit perbankan tahun ini.
”Perbankan cenderung lebih cepat merespons saat suku bunga acuan mengalami kenaikan dibandingkan saat turun,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (20/5/2018).
Ketika BI tetapkan penurunan suku bunga acuan, kata Joshua, pengaruh kebijakan terhadap kredit perbankan baru akan terjadi dua bulan hingga tiga bulan. Sementara saat BI menaikkan suku bunga, respons perbankan, baik untuk kredit maupun deposito, paling lambat dilakukan setelah satu bulan.
Menurut Joshua, kenaikan suku bunga kredit akan memberi dampak langsung pada kinerja sektor riil yang terbebani oleh meningkatnya biaya kredit perusahaan. Pihaknya memproyeksikan hingga akhir tahun ini pertumbuhan kredit mencapai 9-10 persen.
Pertumbuhan tersebut masih lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit nasional tahun lalu yang mencapai 8,1 persen. Sementara BI dan Otoritas Jasa Keuangan menargetkan pertumbuhan kredit nasional hingga akhir tahun ini berada di kisaran 10-12 persen.
”Kenaikan suku bunga kredit akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat karena biaya pinjaman akan semakin mahal sehingga pertumbuhan kredit akan lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya,” ujar Joshua.
Joshua berharap perbankan dengan bantalan modal yang kuat dinilai memiliki margin yang cukup untuk tidak terburu-buru menaikkan bunga kredit. Dalam situasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, perbankan akan memilih untuk tidak menambah beban pembayaran nasabah peminjam.
”Bank Indonesia perlu pastikan agar pertumbuhan kredit tetap mampu mendukung pertumbuhan ekonomi meski seandainya meleset dari target. Efisiensi perbankan dalam menyalurkan kredit masih perlu diperhatikan,” ujarnya.
Di sisi lain, Joshua menilai, kebijakan BI untuk menaikan suku bunga acuan sudah tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi makro di tengah impitan ketidakpastian ekonomi global. ”Pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkesinambungan lebih baik dari pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi bergejolak,” ujarnya.
Kinerja positif
Analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, menilai, secara temporer kenaikan tingkat suku bunga BI bisa menjadi sentimen positif bagi kinerja emiten perbankan di pasar modal. Pasalnya, perbankan jadi punya ruang yang lebih luas untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga saat pertumbuhan kreditnya melambat.
”Kinerja jangka panjang dan menengah emiten perbankan masih akan didominasi oleh kredit konsumer, KPR (kredit perumahan rakyat), dan kenaikan bisnis jasa remitansi,” ujarnya.
Nafan melihat keputusan BI menaikkan suku bunga adalah memberi pengaruh terhadap pergeseran imbal hasil obligasi untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sebelumnya nilai tukar dollar AS terhadap mayoritas mata uang di Asia terjadi setelah imbal hasil teasury AS menambah kenaikannya hingga 3,1 persen.
Selain faktor peningkatan suku bunga, Nafan mengatakan, terdapat faktor eksternal lain yang memengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan sepanjang pekan depan, di antaranya pergerakan harga komoditas dunia, seperti harga batubara.