Layanan data seluler sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Layanan ini belakangan disebut-sebut mulai memberikan andil terhadap pendapatan operator telekomunikasi.
Laporan riset Bahana Sekuritas Indonesia Telko (8 Mei 2018) menggambarkan kontribusi layanan data seluler terhadap total pendapatan tiga pemain besar, Telkom (Telkomsel), XL Axiata, dan Indosat Ooredoo, terus meningkat pada 2013-2017. Kinerja penyedia jasa layanan komunikasi itu dipengaruhi tren lalu lintas penggunaan layanan data yang terus meningkat seiring dengan masifnya pertumbuhan konten aplikasi internet, terutama video.
Namun, operator dihadapkan pada tantangan pertumbuhan cepat lalu lintas layanan data yang diikuti rendahnya margin. Ini tidak hanya dialami oleh operator telekomunikasi Indonesia, melainkan juga secara global, terangkum dalam laporan Ernst & Young ”Metrics Transformation in Telecommunication: Meeting The Challenges of Communicating Performance in A Shifting Industry Landscape(2013)”.
Dalam laporan Ernst & Young itu digambarkan, margin keseluruhan operator telekomunikasi umumnya diperkirakan sekitar 45 hingga 50 persen pada 2011. Namun, saat kontribusi yang meningkat dari layanan data terhadap bauran pendapatan, keseluruhan margin operator turun di bawah 45 persen pada tahun 2015. Untuk mengakomodasi potensi lonjakan lalu lintas konsumsi layanan data seluler, operator telekomunikasi harus menambah beban investasi infrastruktur. Ini tidak semua operator mampu.
Untuk kasus Indonesia, upaya itu saja tidak cukup. Mereka menambah belanja pemasaran, contohnya dengan menawarkan promosi harga rendah untuk layanan data seluler yang biasanya disertai bonus pemakaian aplikasi internet yang beroperasi di jaringan komunikasi (OTT) tertentu. Langkah seperti ini justru menjerumuskan mereka ke persaingan banting harga, seperti situasi yang terjadi satu-dua tahun terakhir. Dampaknya adalah penurunan imbal hasil data.
Laporan riset Mandiri Sekuritas, Indosat’s ”Yellow” an Early Warning Sign, pada 4 Desember 2017 menyebutkan, imbal hasil data Telkomsel, Indosat Ooredoo, dan XL Axiata menunjukkan tren penurunan. Situasi ini direkam oleh Mandiri Sekuritas sejak triwulan I-2016 sampai triwulan III-2017. Imbal hasil data adalah total pendapatan data dibagi dengan total lalu lintas data. Penurunan itu bisa diartikan, besarnya volume lalu lintas ternyata tidak berbanding lurus dengan pendapatan data.
Pada pertemuan Serikat Telekomunikasi Internasional (ITU) Telecom World 2017 di Busan, Korea Selatan, perbincangan para pemimpin industri telekomunikasi telah mengerucut pada perlunya menggali sumber pendapatan baru. Contoh sumber baru yang bisa dicoba yaitu terjun lebih aktif ke produk konektivitas teknologi informasi kepada segmen perusahaan, solusi benda terhubung internet (IoT), dan berkolaborasi dengan perusahaan rintisan bidang teknologi.
Sebanyak tiga pemain besar di Indonesia sudah mulai mencoba menerapkannya, seperti produk IoT Kota Cerdas dan bekerja sama langsung dengan penyedia OTT. Walaupun demikian, harus diakui hasilnya belum memuaskan. Penyebabnya bisa berasal dari operator yang belum memahami karakter perilaku konsumen atau konsumen Indonesia sendiri belum sampai tahap memerlukan layanan data bernilai tambah.
Riset Mirae Asset Telecommunication: Light Data Monetization Continues (September 2017) menyatakan, harga dan bukan kualitas jaringan masih menjadi kunci untuk meraih pangsa pasar. Penduduk Indonesia bukanlah konsumen data esklusif. Ditambah lagi, mayoritas konsumsi data hanya untuk media sosial dan OTT pesan yang tidak memerlukan kualitas jaringan yang tinggi. Karena itu, untuk jangka pendek-menengah, pengurangan bonus dan mendongkrak kenaikan harga amat relevan untuk meningkatkan pendapatan layanan data seluler.
Sementara, dalam jangka panjang, kunci keberhasilan menjaga pertumbuhan berkelanjutan terletak pada memberikan nilai tambah terhadap layanan data yang sesuai perilaku konsumen. Kalaupun mau bekerja sama dengan OTT, kesetaraan level layanan perlu didorong. (MEDIANA)