Pengembang Perlu Antisipasi Dampak Kenaikan Suku Bunga
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengembang properti perlu mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap pelemahan pasar properti, khususnya di segmen menengah bawah. Saat ini, sebagian besar konsumen properti di segmen masih mengandalkan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk pembelian rumah tinggal.
Seperti diberitakan, Bank Indonesia akhirnya menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Langkah ini diambil dalam rangka menstabilkan rupiah, di tengah tekanan kuat arus modal keluar, antara lain terkait rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga setidaknya tiga kali hingga akhir 2018.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, di Jakarta, akhir pekan lalu, mengemukakan, dampak kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 4,5 persen baru akan terasa dalam kurun beberapa bulan mendatang sejalan dengan penyesuaian suku bunga kredit perbankan.
Menurut Soelaeman, setiap terjadi kenaikan suku bunga kredit ataupun pelemahan ekonomi, kelompok masyarakat yang paling cepat terkena dampaknya adalah segmen menengah bawah. Di sektor properti, kelompok masyarakat berpenghasilan Rp 7 juta- 10 juta per bulan paling terkena dampak kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Ini karena segmen tersebut tidak memperoleh stimulus bantuan kredit dari pemerintah, dan sangat bergantung pada KPR untuk pembelian rumah.
Kekhawatiran juga muncul terkait dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap penyesuaian suku bunga kredit konstruksi. Kenaikan suku bunga kredit konstruksi pada akhirnya akan melemahkan aliran kas pengembang, serta mendorong kenaikan harga jual properti sehingga melemahkan pasar.
Setiap suku bunga kredit naik, kelompok masyarakat yang paling cepat terdampak adalah segmen menengah bawah
Soelaeman menambahkan, sejumlah langkah perlu disiapkan pengembang untuk mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga kredit perbankan terhadap pelemahan pasar properti. Di antaranya, mendorong pemasaran lebih cepat sebelum kenaikan suku bunga kredit diterapkan. “Segera jual (proyek properti) sebelum suku bunga kredit naik. Jangan bertahan dengan harga yang muluk, yang penting cepat terserap pasar,” katanya.
Hal senada dikemukakan Associate Director PT Ciputra Residence Yance Onggo. Kenaikan suku bunga acuan menjadi 4,5 persen dinilai tidak berdampak signifikan terhadap pelemahan pasar properti, sepanjang perbankan tidak drastis menaikkan tingkat suku bunga KPR menjadi 10 persen atau dua digit. Penyesuaian suku bunga KPR yang terlalu tinggi dikhawatirkan berdampak negatif terhadap psikologis pasar dan membebani konsumen dengan cicilan yang semakin besar.
“Imbas kenaikan suku bunga acuan tidak akan berdampak besar terhadap pasar properti, selama bank tidak ikut menaikkan suku bunga kredit hingga di level 10 persen,” katanya.
Ia berpendapat, pasar properti saat ini tengah mengalami tren membaik dengan suku bunga KPR perbankan yang rata-rata 6-8 persen per tahun untuk kurun tertentu. Besaran uang muka (DP) rumah dan tingkat suku bunga KPR yang rendah selama ini menjadi salah satu pendorong pergerakan pasar properti, khususnya di segmen menengah bawah.
Dicontohkan, proyek yang digarap perusahaan itu, yakni Citra Maja Raya di Maja, Lebak, Banten, didominasi pembelian lewat skema KPR. Dalam kurun 1 Januari-19 Mei 2018, jumlah penjualan Citra Maja Raya mencapai 2.263 unit atau sekitar Rp 486,7 miliar atau 64,8 persen dari target penjualan (marketing sales) tahun ini Rp 750 miliar. Sekitar 70 persen pembelian lewat skema KPR.
Butuh Sinergi
Yance menambahkan, sejumlah langkah antisipasi perlu disiapkan tidak hanya oleh pengembang, tetapi juga oleh pemerintah untuk mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga kredit. Dari aspek pengembang, terobosan yang dapat dilakukan antara lain perpanjangan angsuran DP rumah, misalnya dari 1 bulan ke 3 bulan, atau dari 3 bulan menjadi 6 bulan, sehingga cicilan menjadi lebih ringan.
“Misalnya suku bunga KPR naik, tentu developer perlu antisipasi, misalnya memperpanjang tenor cicilan DP bagi konsumen. Dengan demikian, pembeli bisa membayar DP rumah lebih besar, sehingga cicilan KPR menjadi lebih ringan,” katanya.
Antisipasi lainnya, memasukkan biaya pengurusan surat-surat dan dokumen ke dalam komponen harga jual. Dengan demikian, konsumen tidak kebingungan dan terbebani dengan komponen biaya tambahan yang dikenakan sewaktu pembelian, seperti bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan akta jual beli (AJB).
Dari aspek regulasi, diharapkan ada kelonggaran terkait kebijakan KPR inden. Besaran uang muka rumah yakni 15 persen diharapkan juga diberlakukan untuk rumah ketiga, sehingga menggerakkan pasar KPR lebih luas. Di sisi lain, perlu sinergi antara tim pemasaran pengembang dengan pihak perbankan untuk menjelaskan kenaikan tingkat suku bunga KPR terhadap peningkatan besaran cicilan KPR. Dengan demikian, konsumen dan calon konsumen mendapatkan informasi yang jelas dan detil.