JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perindustrian berpandangan, pengembangan mobil listrik tidak bisa dilakukan serta-merta secara total meniadakan penjualan kendaraan konvensional pada 2040. Investasi dan ekspor di sektor otomotif yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya.
”Tahapan pengembangan dibutuhkan untuk menghindari guncangan dan menjamin keberlanjutan industri otomotif di Tanah Air sesuai peta jalan industri otomotif yang sudah ada,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto di Jakarta, Senin (21/5/2018).
Harjanto mengatakan, sampai dengan beberapa puluh tahun ke depan masih akan ada berbagai varian kendaraan di dunia. Merujuk Energy Technology Perspectives 2017-International Energy Agency, diperkirakan 64 persen kendaraan pada 2020 adalah kendaraan berbahan bakar gasolin.
Adapun persentase kendaraan diesel 18 persen, kendaraan berbahan bakar gas alam terkompresi (CNG) 3 persen, kendaraan hibrida 6 persen, kendaraan plug in hybrid (PHV) 4 persen, dan kendaraan listrik 5 persen.
Komposisi pada 2030 berubah, yakni kendaraan gasolin berkurang menjadi 51 persen, diesel 14 persen, CNG 3 persen, hibrida 12 persen, PHV 11 persen, dan kendaraan listrik 8 persen. Pada 2040, komposisi berubah lagi menjadi kendaraan gasolin 35 persen, diesel 11 persen, CNG 3 persen, hibrida 15 persen, PHV 20 persen, dan kendaraan listrik 15 persen.
”Artinya sampai 2040 nanti varian kendaraaan di dunia diperkirakan masih seperti ini. Membatasi pengembangan kendaraan hanya di mobil listrik berarti membatasi pasar ekspor kita hanya di angka 15 persen pada 2040 tersebut,” kata Harjanto.
Dia mengatakan sudah ada peta jalan pada 2025. Sedikitnya 20 persen dari total produksi mobil nasional akan mengarah ke kendaraan emisi rendah yang bisa diisi kendaraan listrik. Persentase kendaraan rendah emisi pada 2030 sebanyak 25 persen dan pada 2035 sebanyak 30 persen.
”Pengembangan kendaraan listrik dilakukan secara gradual seperti ini. Salah satu yang mengganggu adalah ketika pada 2040 kendaraan ICE (internal combustion engine/mesin pembakaran dalam) akan selesai dan total diganti kendaraan listrik,” katanya.
Harjanto mengatakan, pengembangan mobil listrik di Indonesia terkait banyak aspek yang harus dipertimbangkan, termasuk investasi, penyerapan tenaga kerja, kesiapan infrastruktur, fasilitas pengelolaan limbah baterai, dan ketersediaan sumber daya di dalam negeri, baik teknologi maupun bahan baku.
”Jangan sampai kita maunya saving energi dengan ingin mengurangi net impor migas di satu sisi, tetapi nanti akhirnya kita jadi net importir di bahan baku lithium untuk baterainya,” katanya.
Apalagi harga lithium pun cenderung naik, yakni dari sekitar 5.000 dollar AS per ton pada 2010 menjadi 7.400 dollar AS per ton pada 2016. Harga kobalt pun cenderung naik dari sekitar 20 dollar AS per pound pada 2010 menjadi 28 dollar AS per pound pada 2017.
Selain itu, Harjanto mengatakan, pelaku industri juga memerlukan kepastian dalam menjalankan investasi jangka panjang. Kebijakan yang kerap atau drastis berganti akan menggerus kepercayaan para investor yang sudah telanjur menanamkan modal di Indonesia.
Terkait komitmen dan dukungan pengembangan mobil listrik, Harjanto mengatakan, Kemenperin telah mengundang para pemangku kepentingan yang bergerak di penelitian dan pengembangan, termasuk dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
”Kami pun sudah mengusulkan ke Kementerian Keuangan insentif PPnBM untuk mendukung pengembangan mobil listrik,” katanya.
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kemenperin Putu Juli Ardika mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diharmonisasikan. ”Pembatasan-pembatasan seperti larangan menjual kendaraan konvensial, misalnya, tidak bisa dilakukan, jadi perlu diharmonisasi,” kata Putu Juli.