Keterbatasan Suku Bunga Acuan
Dalam sebulan terakhir, rupiah terus tertekan. Nilai tukar rupiah menembus Rp 14.000 per dollar AS. Tidak dapat dipungkiri, faktor pelemahan rupiah tidak terlepas sebagai akibat dari penguatan dollar Amerika Serikat (AS). Defisit transaksi berjalan Amerika membutuhkan tambahan likuiditas, sehingga
Pemerintah AS harus menaikkan imbal hasil obligasi (US Treasury Bond). Imbal hasil untuk tenor 10 tahun sudah naik dari 2,4 persen menjadi 3 persen,, yang diperkirakan akan naik menjadi 4 persen pada 2018 dan 5 persen pada 2019.
Sejalan dengan itu, The Fed diproyeksikan menaikkan suku bunga acuannya hingga tiga kali sampai dengan triwulan I-2019. Konsekuensinya, dikhawatirkan banyak dana dari negara-negara berkembang akan pulang kampung ke AS.
Namun, arah kebijakan The Fed tersebut sudah diketahui secara jamak dan tentu sudah diantisipasi pelaku ekonomi di seluruh dunia. Artinya, jika rupiah menghadapi tekanan yang persisten, tentu tidak hanya disebabkan faktor AS, tapi juga faktor fundamen yang relatif lemah. Defisit transaksi berjalan Indonesia sudah terjadi sejak lama dan pada triwulan I-2018 masih defisit 5,5 miliar dollar AS atau 2,1 persen dari produk domestik brut (PDB). Sekalipun transaksi modal dan finansial surplus 1,9 miliar dollar AS, namun, pada April 2018, neraca perdagangan defisit 1,63 miliar dollar AS. Tekanan neraca perdagangan dipicu neraca migas dan nonmigas. Selain kenaikan harga minyak dunia, tekanan impor pangan juga melonjak cukup tajam. Selama 2017, nilai impor 7 komoditas pangan utama, yakni gandum, kedelai, gula tebu, jagung, bawang putih, ubi kayu, dan beras sudah mencapai 25,2 juta dollar AS.
Disamping dari sisi impor, tekanan kebutuhan dolar juga berasal dari peningkatan utang luar negeri Indonesia. Tahun 2017, ekspor hanya 168,83 miliar dollar AS, namun utang luar negeri telah mencapai 375 miliar dollar AS.
Berbeda dengan Thailand, ekspor mencapai 237 miliar dollar AS, tapi utang luar negerinya hanya 150 miliar dollar AS. Sementara, Vietnam, nilai ekspornya 215 miliar dollar AS, sedangkan utang luar negerinya 92 miliar dollar AS. Thailand dan Vietnam berhasil menggeser dominasi ekspor mereka menjadi produk manufaktur dengan memanfaatkan rantai pasok nilai global. Selain itu, berhasil melakukan kebijakan substitusi impor dengan mengintegrasikan industri hulu dengan hilir.
Artinya, pemicu tekanan terhadap rupiah lebih banyak disebabkan pelemahan sektor riil. Dengan demikian, obat penawarnya tidak mungkin hanya mengandalkan instrumen moneter. Pasalnya, untuk mengerem laju pelemahan rupiah, Bank Indonesia (BI) telah melakukan operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar valas dan pasar uang. Intervensi BI untuk menstabilkan rupiah telah menggerus cadangan devisa lebih dari 6 miliar dollar AS. Akibatnya, cadangan devisa Indonesia per akhir April 2018 tinggal 124,9 miliar dollar AS.
BI harus melakukan bauran kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen. Sebelumnya, BI telah menahan suku bunga acuan 8 bulan sejak 22 September 2017 di level 4,25 persen.
Kenaikan suku bunga acuan dimaksudkan untuk menahan dan mencegah modal asing keluar. Indonesia sangat bergantung pada pembiayaan luar negeri untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, baik dari utang luar negeri, portofolio, maupun dan penanaman modal asing. Sayangnya, porsi terbesar aliran modal berupa portofolio, bukan penanaman modal langsung (FDI). Akibatnya, cukup rawan dan mudah hengkang dari Indonesia. Kepemilikan investor asing pada obligasi Pemerintah sekitar 40 persen. Kenaikan suku bunga acuan BI dinilai agak terlambat karena Bank Sentral AS, The Federal Reserve, telah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin pada Maret 2018. Bank sentral China telah menaikkan suku bunga acuan 5 basis poin dari 2,5 persen menjadi 2,55 persen pada akhir 2017.
Konsekuensi
Namun, pilihan instrumen kenaikan suku bunga acuan bak pisau bermata dua, konsekuensinya akan mendorong kenaikan suku bunga kredit. Tambahan beban biaya modal akan semakin menekan pertumbuhan investasi karena menambah inefisiensi usaha atau ekonomi berbiaya tinggi. Artinya, selain kontraproduktif terhadap peningkatan produktivitas, juga semakin menurunkan daya saing produk dalam negeri. Artinya, potensi defisit neraca perdagangan semakin meningkat, ancaman inflasi (imported inflation) semakin tinggi, dan target pertumbuhan tidak tercapai. Pada akhirnya, risiko terhadap perekonomian akan meningkat sehingga membuka ruang spekulan untuk kembali menekan rupiah.
Dengan keterbatasan instrumen moneter tersebut, BI harus hati-hati dan dengan pertimbangan yang komprehensif ketika harus menaikkan kembali suku bunga acuan. Apalagi, dari eksternal, ketidakpastian global menghantam semua nilai tukar di emerging market dan developed market. Ditambah lagi, volatilitas pasar surat utang dan saham sedang dalam tren menurun.
Langkah paling penting adalah menjaga kepercayaan atau keyakinan investor tetap di pasar Indonesia. Pemerintah jangan melakukan kebijakan yang memicu ketidakpastian pertumbuhan ekonomi. Apalagi, dominasi potensi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia dari faktor dalam negeri.
Hal utama yang diperlukan dalam jangka pendek adalah melakukan konsolidasi dan optimalisasi sumber pertumbuhan. Utamanya, pemerintah harus segera memulihkan daya beli masyarakat dan memberikan insentif konkret terhadap sektor yang berdampak langsung terhadap perluasan kesempatan kerja. Jika kebijakan Pemerintah tidak dibaca pasar merupakan bentuk kepanikan dan arah pencapaian target pertumbuhan ekonomi diatas 5,2 persen jelas terjadi, sudah cukup untuk menahan tekanan terhadap rupiah. Termasuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari potensi krisis.