JAKARTA, KOMPAS — Ekspor nonmigas Indonesia masih dapat ditingkatkan melalui diversifikasi pasar. Langkah tersebut dapat dilakukan guna mengatasi defisit neraca perdagangan Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, selama empat bulan pertama tahun 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit mencapai 1,32 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,62 triliun dengan kurs Rp 14.107.
Defisit tersebut terjadi pada Januari 2018 sebesar 760 juta dollar AS, Februari 2018 sebesar 50 juta dollar AS, dan April 1,63 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia surplus hanya pada Maret 2018, yaitu Rp 1,12 miliar dollar AS.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, saat dihubungi, di Jakarta, Senin (21/5/2018), menyatakan, peningkatan ekspor produk manufaktur melalui diversifikasi pasar diperlukan. Apalagi, saat ini ekspor ke negara tradisional cenderung turun akibat ekonomi global melambat dan konflik geopolitik.
”Peluang kita sebenarnya ada di Afrika dan Timur Tengah,” kata Enny. Indonesia mulai meningkatkan diversifikasi pasar ekspor selama beberapa tetapi dinilai masih belum maksimal.
Indonesia, ujarnya, dapat mengekspor komoditas rokok dan makanan ke negara-negara di wilayah tersebut. Namun, terdapat beberapa penyebab ekspor ke sana yang menghambat daya saing bangsa, seperti peraturan teknis dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Haris Munandar mengakui, sejumlah regulasi masih menghambat ekspor komoditas nonmigas bangsa ke wilayah-wilayah tersebut, seperti masalah sertifikasi halal.
Haris mengatakan, sertifikasi halal yang disyaratkan di pasar Timur Tengah memiliki konsep yang berbeda dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. ”Peraturan teknis ekspor produk halal kita justru mempersulit, misalnya alat angkut barang juga harus halal,” katanya.
Selain diversifikasi pasar, pengajar ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, secara terpisah menekankan, diversifikasi produk juga dibutuhkan. Pemerintah perlu menggenjot ekspor komoditas nonmigas yang bahan bakunya banyak ataupun hanya ada di Indonesia sehingga memiliki daya saing.
Haris menyetujui, komoditas ekspor Indonesia, seperti rokok, dapat bersaing jika dipasarkan di Timur Tengah dibandingkan di negara Uni Eropa atau Australia karena peraturan yang lebih longgar. Ditambah lagi, rokok Indonesia adalah rokok kretek yang mencerminkan warisan budaya bangsa sehingga memiliki kandungan dan rasa yang unik.
Impor
Di sisi lain, Haris meyakini, meningkatnya impor hanya merupakan fenomena sementara. Dengan demikian, jika ekspor dapat digenjot, sementara impor menurun, transaksi perdagangan akan kembali surplus.
”Impor naik karena banyak investasi yang mulai berproduksi sehingga membutuhkan bahan baku yang hanya diperoleh dari impor. Hasil investasi akan terlihat pada tahun 2019-2020 nanti,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, jumlah impor Indonesia menurut penggunaan barang naik pada Januari-April 2018 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Impor barang konsumsi naik menjadi 5,45 miliar dollar AS (26,09 persen), bahan baku atau penolong naik menjadi 44,79 miliar dollar AS (21,86 persen), dan barang modal naik menjadi 9,81 miliar dollar AS (31,04 persen).
Ia mengucapkan, kelemahan saat ini adalah ketidakmampuan negara memproduksi bahan baku. Di bidang kimia dan farmasi, misalnya, mayoritas bahan baku masih impor. Selain itu, Indonesia juga masih harus mengimpor peralatan teknologi tinggi di bidang petrokimia
Enny menambahkan, impor barang konsumsi turut naik karena menjelang Ramadhan. ”Pemerintah tidak mau gambling, jadi impor untuk antisipasi pasokan untuk Lebaran,” ujarnya. Selain itu, nilai impor juga meningkat akibat harga minyak yang naik selama beberapa bulan terakhir.