JAKARTA, KOMPAS – Selama tiga hari berturut-turut Indeks Harga Saham Gabungan terus mengalami penurunan seiring berlanjutnya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Para investor tengah berkonsolidasi dalam menghadapi era normal baru yang melanda perekonomian tanah air.
Pada penutupan perdagangan Senin (21/5/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 49,46 poin atau 0,86 persen ke level 5.733,85. Sementara kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) berada di level Rp 14.176 per dollar AS, melemah dari akhir pekan lalu Rp 14.107 per dollar AS.
Sepanjang perdagangan kemarin (Senin ini), IHSG bergerak pada level 5.719,47 – 5.786,39. Dari 581 saham yang diperdagangkan hari ini, sebanyak 150 saham menguat, 217 saham melemah, dan 214 saham stagnan.
Analis Indosurya Bersinar Sekuritas, William Surya Wijaya, mengatakan IHSG tidak terdampak sentimen positif menyusul kesepakatan AS dan China untuk menangguhkan pengenaan tarif impor terhadap produk masing-masing.
Padahal bursa Asia tengah menguat menyusul sentimen positif muncul seiring meredanya tensi perang dagang antara dua negara.
Di hari yang sama, Indeks Kospi Korea Selatan naik 0,20 persen, dan indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,60 persen. Sementara Indeks Shanghai Composite dan CSI 300 juga mengalami penguatan masing-masing sebesar 0,64 persen dan 0,47 persen.
IHSG dan nilai tukar rupiah pun belum terdampak sentiment tersebut. Langkah penaikan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,5 persen oleh Bank Indonesia pekan lalu tidak berdampak, karena langkah ini masih belum mampu menghentikan aksi jual di pasar.
“Pelemahan IHSG hari ini dipengaruhi oleh faktor konsolidasi investor menghadapi era new normal di tengah fluktuasi pada nilai tukar rupiah. Sebelumnya, investor sudah melakukan antisipasi kebijakan bunga acuan ke harga saham,” ujarnya.
William mengatakan rasio harga berbanding laba atau price to earning ratio (PER) ikut menurun seiring penurunan harga saham. Total saham yang memiliki PER negatif sebanyak 146 saham atau mewakili hamper seperempat dari jumlah emiten di BEI sebanyak 579 saham.
Analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya mengatakan, penurunan PER bisa menjadi kesempatan bagi investor untuk membeli saham. Meski mencatatkan penurunan PER yang signifikan, Natasya mengatakan, indikator-indikator selain PER juga harus diperhatikan.
“Sudah saatnya bagi investor jangka pendek untuk membeli saham, tetapi investor harus lebih selektif melihat good corporate governance, fundamental, dan pertumbuhan laba per saham,” kata Natasya.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat mengatakan gejolak pasar modal tidak menyurutkan minat korporasi untung menggalang dana lewat penerbitan surat utang. Bursa Efek Indonesia mencatat total emisi obligasi dan sukuk sepanjang tahun berjalan 2018 telah mencapai Rp 48,04 triliun.
“Total nilai tersebut merupakan akumulasi dari 31 emisi obligasi dan sukuk oleh 26 emiten sepanjang tahun 2018 berjalan,” kata Samsul.
Total emisi obligasi dan sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 358 emisi dengan nilai nominal sebesar Rp 403,41 triliun dan 47,5 juta dollar AS diterbitkan oleh 113 emiten. Sementara total Surat Berharga Negara (SBN) tercatat di BEI berjumlah 89 seri dengan nilai nominal Rp 2.174,35 triliun dan 200 juta dollar AS.