JAKARTA, KOMPAS - Pelaku usaha atau pedagang besar komoditas beras perlu membantu petani dengan menyerap banyak beras dari petani dengan harga yang menguntungkan petani. Dengan demikian, petani dan masyarakat di desa semakin termotivasi meningkatkan produktivitas dan produksi beras di dalam negeri.
Hal itu disampaikan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dalam seminar bertema "Ketersediaan pangan, Swasembada vs Impor" yang diselenggarakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta, Senin (21/5). Hadir sebagai narasumber Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Anggota BPK Rizal Djalil.
"Kami mengimbau pengusaha atau pedagang besar bisa membuat petani kita menjadi kaya, bukan petani Vietnam atau Thailand," kata Bambang. Dengan menyerap gabah atau beras dari petani dengan harga lebih tinggi atau menguntungkan petani, petani semakin mendapatkan insentif untuk meningkatkan produktivitas dan produksi beras.
Secara terpisah, Deputi Bidang Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro mengungkapkan, sejumlah BUMN, seperti PT Pertania terus melakukan penyerapan gabah petani melalui program serap gabah. Melalui program Sergap yang terintegrasi dengan sistem kartu tani, sistem penyerapan gabah dibuat terpadu.
"Dari pratanam, tanam, panen, dan pascapanen, sistemnya terpadu," kata Wahyu. Sebagai contoh, di Garut, petani yang memiliki kartu tani dapat memperoleh kredit usaha rakyat (KUR) melalui bank BNI. Setelah petani melakukan proses penananam dan panen, hasil panen diserap oleh BUMN, yaitu PT Pertani.
Secara konsep, lanjut Wahyu, setiap hamparan 4.000 hektar, dibuat kelompok wirausaha tani melalui PT Mitra BUMdes Bersama. PT Mitra Bumdes Bersama merupakan kelompok usaha binaan PT Mitra BUMdes Nusantara yang dibentuk oleh perusahaan BUMN, seperti Perum Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, PT RNI, dan PTPN III, dan PT Danareksa.
Bambang menambahkan, dalam mewujudkan ketersediaan pangan, pengadaan pangan yang berasal dari produksi domestik dan cadangan beras nasional sangat penting. Selain itu, diperlukan upaya memberdayakan usaha pangan berskala kecil yang menjadi ciri dominan di sektor pertanian. Ia juga khawatir jika petani atau masyarakat desa semakin beralih profesi karena tidak mendapatkan insentif atau keuntungan.
Meskipun demikian, menurut Bambang, impor beras juga dapat dilakukan sepanjang produksi nasional tidak mencukupi dan harga beras naik. Namun, kebijakan impor perlu didukung dengan pendataan yang akurat, transparan, dan tidak merugikan petani saat panen. "Indonesia belum punya data pangan yang valid dan menjadi rujukan semua pemangku kepentingan," katanya.
Rizal mengakui, data pangan belum akurat, baik data produksi, data konsumsi, termasuk data luas lahan pertanian, terutama tanaman padi. Ia mencontohkan, di wilayah Jawa Barat, seperti Karawang, terjadi banyak alih fungsi lahan. Namun, saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) berupaya memperbarui data pangan.
Amran mengungkapkan, sudah banyak yang dilakukan Kementerian Pertanian untuk melakukan ketersediaan pangan, baik dalam tataran kebijakan maupun anggaran. Terkait anggaran, sebagai gambaran, tahun 2014, dari total anggaran Rp 12 triliun, anggaran belanja operasional Kementerian Pertanian (Kementan) mencapai 48 persen dan belanja sarana dan prasarana pertanian sebesar 35 persen.
Namun, dalam perkembangan, lanjut Amran, belanja sarana dan prasarana pertanian terus ditingkatkan dan belanja operasional Kementan, terutama untuk keperluan seminar atau perjalanan dinas dikurangi. Tahun 2017, dari total anggaran sebesar Rp 19,3 triliun, anggaran belanja sarana dan prasarana pertanian mencapai 70 persen dan belanja operasional sebesar 18 persen.