JAKARTA, KOMPAS – Nilai tukar rupiah tidak kunjung menguat terhadap sejumlah mata uang asing akibat tingkat inflasi dan defisit transaksi berjalan. Hal ini membuat peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia tak berdampak pada kekuatan rupiah.
Pekan lalu Bank Indonesia memutuskan untuk menambah suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen. Namun, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Selasa (22/5/2018), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di level Rp 14.178 per dollar AS.
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lain bisa kuat bila stabilitas inflasi dan terjaga. Meski dalam tiga tahun terakhir inflasi selalu berada di bawah 4 persen, defisit transaksi berjalan masih berlanjut.
Dalam tiga tahun terakhir, inflasi tercatat belum pernah melampaui 4 persen. Inflasi 2015 tercatat sebesar 3,35 persen, sementara pada 2016 (3,02 persen), dan pada 2017 (3,61 persen).
“Nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara yang inflasinya lebih rendah dari Indonesia akan sulit untuk menguat. Inflasi dan defisit transaksi berjalan harus betul-betul kita kontrol,” kata Agus di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta.
Pelemahan rupiah hingga ke level Rp 14.000 per dollar AS tidak bisa dihindari selama transaksi berjalan Indonesia defisit. Sejak 2012, lanjut Agus, transaksi berjalan telah mengalami defisit bahkan hingga menyentuh 29 miliar dollar AS pada 2015.
Diperlukan reformasi di bidang sektor riil, fiskal dan moneter untuk perbaikan defisit transaksi berjalan. Sektor riil Indonesia perlu mendorong ekspor yang bernilai tambah. Sementara produksi harus didorong mengunakan bahan baku atau bahan setengah jadi yang bukan berasal dari impor.
Menurut Agus terdapat empat sektor yang harus diperbaiki pemerintah untuk mendorong surplus transaksi. Selain infrastruktur, pemerintah juga perlu melakukan pembenahan terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM), sistem birokrasi kelembagaan, serta inovasi lembaga riset.
"Rupiah dapat menguat saat transaksi masih berlangsung defisit, dengan catatan adanya arus investasi asing langsung serta investasi portofolio yang masuk ke dalam pasar Indonesia," kata Agus.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Joshua Pardede mengatakan BI berpotensi kembali menaikkan BI 7 Days Repo Rate pada Semester II tahun ini. Kenaikan suku bunga BI tersebut akan dilakukan apabila tekanan pada nilai tukar rupiah masih berlanjut dipengaruhi oleh ekspektasi pada suku bunga AS.
“Pelemahan rupiah terjadi seiring berlanjutnya arus keluar dana asing dari instrumen investasi di pasar keuangan domestik ke surat berharga AS (US Treasury). Imbal hasil US treasury tenor 10 tahun kembali bergerak di atas 3 persen sejak pekan lalu,” ujarnya.
Joshua berharap kebijakan fiskal lebih ekspansif di tengah kecenderungan pengetatan kebijakan moneter BI. Hal ini diharapkan dapat mendorong pemulihan ekonomi secara khusus konsumsi rumah tangga dan investasi untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan.
Pemerintah, lanjutnya, bisa membantu BI menahan keluarnya aliran dana asing yang menyebabkan pelemahan rupiah dengan menaikkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Namun kebijakan ini dinilai tidak punya dampak berkelanjutan karena porsi kepemilikan asing pada SBN yang terlalu besar bisa membuat struktur keuangan rapuh.
“Ini menjadi dilematis karena menaikan imbal hasil SBN juga memberatkan APBN karena bunga utang yang makin besar,” ujarnya.