JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah perlu berupaya memperluas lahan pertanian untuk bisa digarap untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman padi, termasuk tanaman lain yang dapat diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian, Indonesia tidak banyak tergantung pada produk pangan impor.
Hal itu mengemuka dalam dialok yang diselenggarakan DPP Partai Nasdem dengan tema "Menyoal Ketahanan Pangan" di Jakarta, Selasa (22/5). Tampil sebagai narasumber Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Siswono Yudo Husodo, Guru Besar Universitas Lampung Bustanul Arifin, dan Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia Christianto Wibisono.
"Lahan pertanian makin sempit. Di Jawa, rata-rata (kepemilikan lahan petani) tinggal 0,3 hektar. Perlu dibuka areal lahan pertanian baru agar produksi dan daya saing meningkat," kata Siswono. Potensi perluasan sawah yang sudah ada seluas 6 juta hektar seperti di Papua dan Kalimantan Barat, serta potensi perluasan lahan kering untuk pangan sekitar 5,1 juta hektar.
Saat ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya memaksimalkan pemanfaatan lahan secara produktif melalui program sertifikasi lahan kepada masyarakat pedesaan dan program perhutanan sosial agar masyarakat dapat memiliki akses pengelolaan lahan secara ekonomis dan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Lahan pertanian makin sempit. Di Jawa, rata-rata (kepemilikan lahan petani) tinggal 0,3 hektar
Dari laporan kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2007-2014, luas hutan yang sudah diterbitkan izin perhutanan sosial seluas 449.104 hektar. Tahun 2015, luas perhutanan sosial bertambah 105.237 hektar, tahun 2016 bertambah 130.145 hektar, dan tahun 2017 luas perhutanan sosial bertambah 666.359 hektar.
Siswono menilai, Indonesia sulit mencapai ketersediaan pangan jika produksi tidak meningkat dengan perluasan lahan. Ia membandingkan lahan perkebunan sawit yang cenderung bertambah dan produksi.meningkat karena keuntungan yang bisa diperoleh cukup besar dari perkebunan kelapa sawit.
Siswono menambahkan, bangsa Indonesia perlu mengembangkan produk pangan yang bersumber pada tanaman lokal, seperti tepung beras, tepung jagung, tepung ubi kayu. Selama ini, Indonesia sudah tergantung pada konsumsi produk pangan gandum impor, yaitu sekitar 10 juta ton per tahun.
Kenaikan harga
Bustanul mengatakan, tahun 2016 dan 2017, BPS belum mengeluarkan data resmi terkait produksi gabah. Dari data tahun 2015, produksi gabah sebanyak 75,40 juta ton atau setara 43 juta ton beras.
Menurut Bustanul, tahun 2017, produksi gabah memang disebutkan surplus. Namun, de facto, harga beras di pasar seperti pada tahun 2018 ini masih relatif tinggi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga beras menjadi relatif tinggi.
Misalnya, lanjut Bustanul, dengan perubahan pola distribusi beras untuk masyarakat miskin atau pra sejahtera (Rastra) dengan sistem kartu, masyarakat dapat membeli beras di pedagang atau pasar sesuai keinginan. Hal itu dapat berdampak pada peningkatan permintaan beras di pasar sehingga mendorong harga beras naik.
Dalam tahap uji coba, lanjut Bustanul, dari 15,5 juta masyarakat miskin atau pra sejahtera, memang belum semua masyarakat pra sejahtera yang menggunakan sistem kartu tersebut, yaitu sekitar 5 juta kepala keluarga. Keterlambatan dalam distribusi beras untuk masyarakat miskin dapat mempengaruhi kenaikan harga beras di pasar.
Selain itu, menurut Bustanul, harga beras di pasar dapat naik jika pemerintah tidak memiliki cadangan beras pemerintah yang memadai atau cukup. Di sisi lain, Perum Bulog tidak dapat sepenuhnya menyerap gabah atau beras dari petani jika harga pembelian gabah di lapangan sudah tinggi atau jauh dari harga patokan pemerintah (HPP) yang ditetapkan.