Loyo Sebelum Berkembang
Suku bunga acuan di dalam negeri telah diturunkan tujuh kali sejak Januari 2016. Toh tingkat bunga berbagai kredit perbankan umumnya bergeming. Kini, suku bunga acuan kembali naik. Apa yang akan terjadi?
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 16-17 Mei memutuskan menaikkan suku bunga acuan, yakni BI 7-day Reverse Repo Rate, sebanyak 25 basis poin menjadi 4,50 persen. Kebijakan ini berlaku efektif mulai 18 Mei.
Ini adalah respon BI terhadap tekanan nilai tukar rupiah yang terjadi selama beberapa pekan terakhir menyusul rencana serial kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS). Nilai tukar rupiah pada Jumat pekan lalu terdepresiasi 4,13 persen dari posisi akhir 2017.
Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee-FOMC), pada rapat Maret lalu, memutuskan menaikkan suku bunga acuan di AS dari 1,50 persen menjadi 1,75 persen. Ini merupakan kenaikan bunga acuan pertama di tahun ini sekaligus ke enam sejak akhir 2015.
FOMC mengindikasikan, suku bunga acuan akan dinaikkan 2-3 kali lagi di tahun ini. Pertemuan FOMC di Juni mendatang diharapkan memberikan gambaran yang lebih pasti.
Suku bunga yang ditetapkan The Federal Reserve menjadi acuan tingkat bunga atau imbal hasil seluruh instrumen investasi di AS. Artinya, kenaikan suku bunga acuan di AS sebagaimana dilakukan secara bertahap sejak 2015 sampai dengan minimal 2019 akan diikuti oleh kenaikan tingkat bunga berbagai instrumen investasi di negeri itu.
Hal ini akan memancing investasi portofolio di berbagai negara untuk terbang ke negeri Paman Sam yang dianggap sebagai tempat investasi portofolio paling menarik dan aman di dunia. Akibatnya, nilai tukar berbagai mata uang, termasuk rupiah, akan tertekan.
BI memiliki dua langkah cepat untuk menjaga stabilitas pasar keuangan domestik. Pertama adalah mengelola ekspektasi pasar dengan mengatur suku bunga acuan. Kedua adalah mengelola permintaan dan penawaran valuta asing melalui intervensi pasar dengan merogoh cadangan devisa.
Kenaikan suku bunga acuan oleh BI pada gilirannya akan memicu kenaikan tingkat bunga berbagai kredit. Misalnya adalah kartu kredit, kredit pembelian kendaraan bermotor, kredit pembelian rumah, dan kredit untuk korporasi.
Pada Januari 2016, suku bunga acuan di dalam negeri adalah 7,25 persen. Sampai dengan pertengahan Mei 2018, BI telah menurunkan tujuh kali. Posisi terakhir adalah 4,25 persen. Baru per 18 Mei, suku bunga dinaikkan lagi menjadi 4,50 persen.
Selama 2,5 tahun suku bunga acuan turun gunung, tingkat bunga berbagai kredit bergeming. Kalaupun ada penurunan, sangat tipis dan terbatas. Rata-rata posisi terakhir bahkan masih di atas 10 persen. Perbankan mengklaim bahwa situasi tidak mudah karena permintaan masyarakat dan korporasi sedang lesu.
Alhasil, pertumbuhan penyaluran kredit bank melambat. Pada 2016 dan 2017, lajunya stagnan di bawah 10 persen. Ini merupakan periode dengan pertumbuhan paling minimalis sejak mencapai 25,5 persen di 2012 untuk kemudian berangsur-angsur melambat di tahun-tahun berikutnya.
Di triwulan I-2018, BI mengindikasikan situasinya membaik. Survei perbankan oleh BI menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan di triwulan I-2018 lebih baik ketimbang triwulan I-2017 yang sebesar 9,2 persen. BI memperkirakan lajunya menguat di triwulan II-2018.
Pertumbuhan kredit perbankan antara lain mencerminkan ekspansi pelaku usaha dan konsumsi masyarakat. Kasualitas dua variabel ini pada sisi hilir akan membentuk konsumsi rumah tangga yang sumbangsihnya terbesar terhadap produk domestik bruto, yakni 56-57 persen.
Konsumsi rumah tangga di triwulan I-2018 hanya tumbuh 4,95 persen atau tipis di atas periode yang sama di tahun lalu, yakni 4,94 persen. Beruntung investasi tumbuh melesat, yakni 7,95 persen, sehingga pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 masih bisa terungkit sedikit di atas triwulan I-2017. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2017 adalah 5,01 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi triwulan I-2018 adalah 5,06 persen.
Kenaikan suku bunga di AS adalah keniscayaan. Oleh karena itu, BI hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuan domestik lagi pada tahun ini. Dengan demikian, tingkat bunga berbagai kredit perbankan akan naik kembali. Ini hanya soal waktu.
Ketika suku bunga acuan mencapai titik terendah selama nyaris 8 bulan terakhir, tingkat bunga berbagai kredit perbankan belum turun sampai pada posisi yang sepadan. Kini suku bunga acuan sudah mulai mendaki lagi. Jangan sampai kemudian ini membuat penyaluran kredit surut alias loyo sebelum berkembang.
Memang dengan situasi mutakhir dan tren ke depan, cita-cita mempercepat laju pertumbuhan kredit memang menjadi tidak mudah. Namun bukan berati itu mustahil dilakukan. Kuncinya adalah merangsang permintaan.
Dalam konteks pasar keuangan yang terus bergejolak dan persoalan struktural domestik, moneter tidak memiliki pilihan banyak kecuali mengetatkan kebijakan. Orientasinya tidak bisa ditawar lagi, yakni stabilisasi.
Ruang moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi makin terbatas. Untuk itu, kebijakan fiskal mesti lebih progresif. Melalui percepatan penyerapan belanja negara, pemerintah bisa mendorong konsumsi rumah tangga. Tentu, kualitas penyerapannya akan sangat menentukan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga telah menerbitkan dan juga masih sedang memfinalisasi sejumlah insentif pajak untuk dunia usaha. Ini diharapkan mampu lebih melesatkan pertumbuhan investasi tahun ini.
Di luar itu, perbaikan iklim usaha seperti deregulasi dan pembangunan sistem terintegrasi-transparan tetap menjadi resep yang akan memberi kontribusi berarti ketika situasi tidak mudah. Tak hanya di pusat tetapi juga di daerah. Tak hanya level nasional, tetapi juga lokal.
Pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,4 persen. Sejumlah instansi memproyeksikan realisasinya berkisar 5,1-5,3 persen. Loyo? Semoga tidak.