JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Keuangan terus mengkaji kenaikan harga minyak dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah. Kajian ini mencakup pertimbangan daya beli masyarakat, kelangsungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sekaligus kesehatan neraca keuangan Pertamina dan PLN. Indikasinya, subsidi solar akan ditambah.
”Pegerakan minyak memang meningkat tajam di awal tahun sampai dengan sekarang. Bedanya dengan asumsi sangat besar. Sekarang untuk yang jenis brent sudah mencapai di atas 80 dollar AS per barrel. Sementara asumsi di APBN adalah 48 dollar AS per barrel,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (22/05/2018).
Dari sisi APBN, menurut Sri Mulyani, pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan baik dari pajak migas maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak. Tambahan penerimaan ini tengah didesain untuk dialokasikan dalam beberapa mekanisme untuk mencapai dua tujuan sekaligus.
Pertama adalah untuk melindungi masyarakat dari tekanan ekonomi. Ini dilakukan melalui mekanisme subsidi. Kedua adalah menjaga kesehatan keuangan Pertamina dan PLN. Kedua Badan Usaha Milik Negara ini tengah menanggung tekanan akibat minyak yang dibeli hargnya naik tetapi subsidi tetap.
Pada saat yang sama, Pertamina juga mendapatkan tambahan penerimaan karena menjual produk yang tidak bersubsidi. Pertamian juga mendapatkan tambahan aset yang nilainya cukup signifikan dari Menteri ESDM.
Untuk itu, Sri Mulyani melanjutkan, Kementerian Keuangan akan melihat kondisi neraca keuangan kedua BUMN tersebut secara keseluruhan. Dengan demikian, pemerintah bisa memutuskan berapa jumlah subsidi yang harus disesuaikan.
”Kita sedang hitung neraca keuangan PLN dan Pertamina agar BUMN memiliki kondisi keuangan yang sehat dan baik. Kita akan melihat keseluruhan postur keuangan. Dan nanti kita akan tentukan,” kata Sri Mulyani.
Undang-Undang tentang APBN 2018 menetapkan subsidi solar Rp 500 per liter. Sri Mulyani mengakui, itu sudah tidak cukup lagi. ”Apakah tambahannya menjadi Rp 1.000 atau berapa, sedang terus dibahas. Dan nanti kami akan laporkan ke DPR melalui mekanisme laporan semester I-2018,” kata Sri Mulyani.
Dengan segala kajian yang tengah dilakukan, Sri Mulyani menekankan, defisit APBN 2018 sampai dengan akhir tahun akan tetap terjaga sesuai target, yakni 2,19 persen terhadap produk domestik bruto. Defiti sampai dengan akhir April 2018 adalah 0,37 persen terhadap PDB. Artinya, pelaksanaan APBN pada jalur yang sesuai target meskipun asumsi harga minyak dan nilai tukar rupiah meleset.
Secara terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, menyatakan, pelaksanaan APBH 2018 cukup kredibel. Klaim ini didasarkan atas realisasi sampai dengan akhir April.
”Karena itu kita proyeksikan, meksipun asumsinya meleset, tapi pelaksanaanya kredibel. Defisit sampai dengan akhir tahun tetap 2,19 persen,” kata Suahasil.
Rupiah yang terdepresiasi misalnya, menurut Suahasil, menimbulkan tambahan penerimaan. Salah satunya berasal dari pajak ekspor. Pada sisi lain, terdapat komponen belanja yang membengkak.
Tapi secara keseluruhan masih surplus. Artinya, penerimaan lebih tinggi daripada tambahan pengeluaran,” kata Suahasil. (LAS)