JAKARTA, KOMPAS - Persoalan legalitas lahan garam di Kupang, Nusa Tenggara Timur, perlu segera dituntaskan agar produksi dapat segera dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor garam industri. Potensi lahan untuk garam industri di wilayah tersebut ditaksir mencapai 500.000 ton per tahun.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim, di Jakarta, Selasa (22/5/2018), menyatakan, persoalan legalisasi lahan garam industri mendesak dituntaskan agar target swasembada garam industri nasional tidak terganggu.
Dari data Kabupaten Kupang, lahan hak guna usaha (HGU) seluas 3.720 hektar (ha) di Teluk Kupang, saat ini menjadi sengketa antara pemerintah daerah dengan pengelola lahan yakni PT Puncak Keemasan Garam Dunia. Perusahaan itu mengakuisisi lahan HGU PT Panggung Guna Ganda Semesta (PGGS) setelah lahan itu ditelantarkan selama 26 tahun.
Halim menilai, ada indikasi pengabaian negara terhadap lahan terlantar. “Ada pengabaian negara yang membiarkan lahan telantar selama puluhan tahun. Legalisasi lahan harus segera diselesaikan agar tidak menghambat produksi garam industri nasional,” katanya.
Ada indikasi pengabaian negara terhadap lahan terlantar
Polemik terkait pencaplokan lahan adat untuk penetapan HGU dinilai harus membuka ruang bagi masyarakat adat untuk mengajukan keberatan melalui mediasi Badan Pertanahan Nasional. Di sisi lain, pemanfaatan lahan adat untuk produksi garam perlu melibatkan masyarakat adat.
Bupati Kupang Ayub Titu Eki, menyatakan, kepentingan pemenuhan kebutuhan garam nasional menjadi prioritas dari Pemerintah Kupang mengingat potensi lahan yang besar dengan kondisi cuaca yang sangat mendukung untuk produksi garam. Namun, pihaknya menolak pemanfaatan lahan HGU oleh PT Puncak Keemasan Garam Dunia karena lahan HGU itu dinilai tidak sah dan menyerobot tanah adat.
Ia menilai, lahan HGU tersebut dibiarkan terlantar selama 26 tahun, sehingga Kupang kehilangan kesempatan untuk memproduksi garam. Dari luas HGU 3.720 ha, pihaknya menaksir produksi garam industri mencapai 500.000 ton per tahun, sehingga kesempatan yang hilang untuk memproduksi garam mencapai 13 juta ton selama 26 tahun. “Lahan HGU itu menyerobot lahan masyarakat, bahkan ada bagian HGU yang merupakan lahan permukiman,” ujarnya.
Ia mempertanyakan Badan Pertanahan Nasional yang memperpanjang HGU PT PGGS yang selama ini diterlantarkan, untuk digarap PT Puncak Keemasan Garam Dunia. Sebaliknya, pihaknya membuka kesempatan kepada perusahaan swasta lainnya untuk mengelola lahan eks HGU tersebut bekerjasama dengan masyarakat. Perusahaan pengelola lahan garam juga akan dikenakan kewajiban kontribusi ke pemerintah daerah sebesar 10 persen.
“Masyarakat yang memiliki lahan adat yang mempunyai potensi untuk industri garam dengan sukarela menyerahkan lahan itu kepada pemerintah untuk difasilitasi pemanfaatannya oleh pengusaha garam yang dipercaya,” katanya.
Penjajakan
Menurut Ayub Titu, saat ini sudah ada empat perusahaan yang melakukan penjajakan terhadap lahan garam industri di lahan eks HGU. Perusahaan itu antara lain PT Garam seluas 318 ha, PT Garam Industri Nasional seluas 200 ha, PT Timor Life Stock Lestari seluas 300 ha, dan PT Sumatraco Langgeng Makmur seluas 30 ha.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut B Panjaitan, meminta pemda tidak berkutat pada persoalan HGU, melainkan memastikan bahwa lahan dapat dikelola perusahaan melibatkan masyarakat dengan sistem inti-plasma.
“Tidak bisa mengubah (status HGU). Yang penting, masyarakat dilibatkan dengan sistem inti-plasma. Kontribusi perusahaan ke daerah kita minta dinaikkan dari 10 persen menjadi 15 persen,” kata Luhut.
Dari data Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, potensi perluasan lahan garam mencapai 40.000 hektar. Saat ini, 10.000 ha lahan sedang dalam proses dibebaskan. Selain Teluk Kupang, ekstensifikasi lahan juga direncanakan di Nagekeo (NTT) seluas 777 ha. Sejumlah 540 ha di antaranya akan dikelola oleh PT Cheetham Garam Indonesia melalui kerja sama dengan pemerintah daerah. Selebihnya dikelola masyarakat melalui sistem inti plasma.
Di Kabupaten Malaka (NTT), usulan pengelolaan sudah masuk seluas 11.000 ha. Sejumlah 4.600 ha di antaranya mendapat izin lokasi untuk Roda Mas. Selain itu, 6.000 ha sedang diproses di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan, NTT.