JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah praktisi pertambangan mengkritik draf revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi dianggap tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan masalah baru. Cepatnya revisi undang-undang tersebut juga mencerminkan ketidakkonsistenan kebijakan di Indonesia.
Beberapa hal yang mendapat sorotan adalah definisi pengolahan dan pemurnian, peran pemerintah daerah dengan pusat, serta status kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Menurut sejumlah panelis dalam diskusi bertajuk ”Revisi UU Minerba dan Kepentingan Nasional” yang diselenggarakan asosiasi profesi pertambangan, Kamis (24/5/2018), di Jakarta, draf revisi tidak lebih baik dari UU No 4/2009 itu sendiri. Selain itu, revisi yang dilakukan saat usia undang-undang belum genap 10 tahun juga dipertanyakan.
Salah satu panelis, Satya Arinanto, pakar hukum dari Universitas Indonesia, mengatakan, banyaknya pasal yang diubah membuat istilah revisi UU No 4/2009 nyaris tidak relevan. Revisi terhadap lebih dari separuh isi pasal sama saja dengan penyusunan undang-undang baru. Padahal, rangkaian proses revisi dengan pembentukan undang-undang baru punya perbedaan.
Revisi terhadap lebih dari separuh isi pasal sama saja dengan penyusunan undang-undang baru.
Senada dengan Satya, Staf Khusus Ikatan Ahli Geologi Indonesia Iwan Munajat berpendapat, banyaknya pasal pada UU No 4/2009 yang diubah justru terlihat seperti undang-undang pengganti, bukan revisi. Ia juga mempertanyakan begitu cepatnya sebuah undang-undang direvisi. Melalui inisiatif DPR, pengajuan revisi UU No 4/2009 dilakukan sejak 2016 atau saat undang-undang tersebut berusia tujuh tahun.
”Tidak masalah seandainya yang berubah adalah peraturan menteri. Ini undang-undang. Kalau undang-undang saja mudah berubah, jelas konsistensi kebijakan usaha di sektor tambang dipertanyakan,” ujar Iwan.
Sementara itu, panelis dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Tino Ardhyanto, menyebutkan, hal yang membingungkan dalam draf revisi adalah mengenai peran pemerintah daerah dengan pusat. Terkesan ada tumpang tindih antara pemerintah daerah dan pusat dalam hal kewenangan. Hal itu dikhawatirkan menciptakan multitafsir sehingga membingungkan pelaku usaha sektor tambang.
Nilai tambah
Hal lain yang mendapat sorotan adalah mengenai hilirisasi mineral di dalam negeri. Mengacu pada draf revisi, definisi pengolahan dan pemurnian diartikan sebagai kegiatan meningkatkan mutu bijih mineral atau batubara menjadi bentuk akhir berupa konsentrat (untuk mineral) dengan nilai tambah 75 persen atau produk lain yang bernilai lebih tinggi.
”Pengolahan dan pemurnian harus dipisahkan. Itu dua hal berbeda. Konsentrat itu hasil pengolahan dan sama sekali belum mengubah bentuk fisik mineral. Mengacu pada definisi draf tersebut, konsentrat bisa diekspor. Ini tampak tak sesuai dengan semangat meningkatkan nilai tambah di dalam negeri,” tutur mantan Direktur PT Krakatau Steel Satya Graha Sumantri, yang turut menjadi panelis.
Panelis lainnya, Wakil Ketua Indonesian Mining Institute Juangga Mangasi, mengatakan, semangat dalam revisi UU No 4/2009 harus memasukkan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri. Paradigma sumber daya mineral sebagai komoditas dagang harus diubah. Mineral harus diolah dan ditingkatkan nilai tambahnya di dalam negeri.
”Dengan paradigma demikian, mineral akan berfungsi sebagai penggerak perekonomian, bukan sebagai komoditas dagang semata,” lanjut Juangga.
Dalam draf revisi UU No 4/2009, ada sisipan pasal antara Pasal 169 dan Pasal 170, yakni Pasal 169 A sampai Pasal 169 E. Pasal 169 A Butir 1 berbunyi, ”Dalam hal KK dan PKP2B berakhir, pemegang KK dan PKP2B memiliki hak mengusahakan kembali wilayah pertambangan dalam bentuk izin usaha pertambangan khusus (IUPK) perpanjangan dengan jangka waktu paling lama 2 kali 10 tahun”.
Adapun Pasal 169 B menyatakan, ”Dalam hal KK dan PKP2B telah berakhir dan tidak termasuk wilayah IUPK perpanjangan, wilayah pertambangan harus dikembalikan kepada negara dan akan dilelang kembali”.