Pascakasus Cambridge Analytica, banyak kalangan terperangah. Keterkejutan terjadi karena kecanggihan sistem yang digunakan untuk mendapatkan data, juga pembuatan profil psikografi lebih dari 87 juta akun yang berhasil diraup oleh lembaga itu.
Kalangan pemasar dibuat ”cemburu” oleh cara-cara itu meski tergolong ilegal. Kini muncul kecemasan tentang aksi-aksi yang disebut klandestin untuk mendapatkan data dari para pemilik akun media sosial.
Di sebuah acara periklanan di Bali, beberapa waktu lalu, para pembicara mengatakan, psikografi seseorang secara akurat bisa dibaca melalui akun media sosialnya. Psikografi itu meliputi gaya hidup, pandangan hidup, dan kepribadian. Dari data ini, pemasar bisa menangani orang itu dengan cara-cara yang makin personal. Tidak ada lagi cara-cara pemasaran yang massal, yang ada adalah cara personal yang makin akurat.
Mereka mengatakan, Cambridge Analytica merupakan cara yang sempurna untuk mendapatkan data personal melalui media sosial. Namun, tetap diingatkan bahwa cara itu ilegal. Beberapa pembicara lain mengingatkan, cara-cara yang dilakukan harus legal dan tidak melanggar privasi. Akan tetapi, pada kenyataannya, cara ini sangat sulit dilakukan. Cara itu makin sulit karena banyak negara yang memperketat perlindungan data pribadi.
Kemudian muncul dugaan klandestin data atau cara diam-diam yang dilakukan sejumlah kalangan untuk mendapatkan data. Cara ini sudah lama dilakukan, tetapi baru belakangan terungkap ke permukaan. Sebuah kelompok bernama Google You Owe Us, awal pekan ini, menggugat Google karena dituduh telah melakukan tindakan klandestin dan memeriksa data pribadi dari 4,4 juta pemilik Iphone di Inggris.
Tindakan itu disebutkan dilakukan dengan menerabas pengaturan privasi di peramban Safari sejak Agustus 2011 hingga Februari 2012. Laman Guardian menyebutkan, kelompok ini meminta ganti rugi sebanyak 3,2 miliar poundsterling. Mereka menuduh bahwa data itu dikelompokkan dan dijual untuk kalangan pengiklan. Data yang didapat kabarnya terdiri dari ras, kesehatan fisik, kesehatan mental, keterkaitan politik, seks, kelas sosial, kebiasaan berbelanja, dan data lokasi.
Kewaspadaan terhadap upaya-upaya klandestin data sebenarnya telah disuarakan oleh sejumlah kalangan sejak lama. Sejumlah pelaku di bidang sains data sudah mengingatkan kemungkinan pengambilan data secara diam-diam. Berangkat dari hal tersebut, mereka menyusun prosedur tata kelola data. Itu mereka lakukan untuk melindungi data yang sudah didapat, baik oleh pribadi maupun korporasi.
Pascakasus Cambridge Analytica, Facebook menghentikan sementara 200 aplikasi. Penghentian aplikasi itu dilakukan setelah ada investigasi terhadap aplikasi-aplikasi yang memiliki akses data sangat besar.
Mereka tengah dievaluasi, apakah menyalahgunakan data yang dimiliki atau tidak. Aplikasi yang diinvestigasi berjumlah ribuan. Facebook mengerahkan para ahli, baik internal maupun eksternal, untuk meneliti satu per satu aplikasi yang menggunakan akun Facebook sebagai sarana masuk ke aplikasi itu.
Aplikasi yang diinvestigasi adalah aplikasi yang menggunakan fasilitas tersebut sejak empat tahun lalu. Facebook akan melakukan langkah lebih jauh lagi, yaitu dengan mewawancarai pengelola aplikasi serta melakukan kunjungan ke lapangan untuk mengecek kemungkinan penyalahgunaan data.
Di Indonesia, kemungkinan kemunculan klandestin data perlu diwaspadai. Di tengah memanasnya pertarungan politik, sangat mungkin ada yang memanfaatkan analisis data calon pemilih dengan menggunakan media sosial. Facebook tidak menyebut nama aplikasi yang sedang diinvestigasi, tetapi spekulasi di luar menyebutkan, beberapa aplikasi itu diinvestigasi karena diduga menyalahgunakan data, yakni aplikasi kuis dan gim.
Tentu saja, kita perlu waspada. Sebagian masyarakat Indonesia termasuk menyukai gim dan kuis yang sepintas terlihat hanya untuk main-main dan bersenang-senang saja. Padahal, saat itu, klandestin data sedang beroperasi.