DENPASAR, KOMPAS – Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mendorong pemerintah daerah membangun Induk Toko Tani Indonesia (TTI Centre) yang menjadi penaung Toko Tani Indonesia di daerah. Toko Tani Indonesia menjadi program pemerintah untuk memangkas rantai distribusi yang mempengaruhi lonjakan harga bahan pangan dan juga menjaga distribusi pasokan bahan pangan dengan harga murah.
Hingga Juni mendatang, Badan Ketahanan Pangan menargetkan terbentuk 20 TTI Center di 20 provinsi. “Peluncuran TTI Centre di Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Bali ini merupakan TTI Centre ke sembilan dari 20 TTI Centre yang ditargetkan pemerintah terbentuk sebelum Lebaran nanti,” kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi di Kantor Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Denpasar, Bali, Jumat (25/5/2018).
Agung menambahkan, Kementerian Pertanian menjalankan program Toko Tani Indonesia (TTI) untuk membangun sistem distribusi pasokan bahan pangan yang efisien sehingga konsumen membeli bahan pangan dengan harga wajar dan di sisi lain, pemasok atau pedagang dan petani tetap memeroleh keuntungan. Menurut Agung, rantai distribusi yang terlalu panjang mempengaruhi lonjakan harga bahan pangan.
“Tujuan dari TTI ini adalah memangkas rantai distribusi yang panjang itu,” kata Agung. Terjaminnya distribusi pasokan dan tersedianya harga bahan pangan yang wajar melalui program TTI, menurut Agung, juga akan menjamin kestabilan harga bahan pangan di pasar, termasuk saat menyambut hari besar keagamaan. Agung menambahkan, sekitar 3.000 TTI sudah terbentuk di daerah.
Gubernur Bali I Made Mangku Pastika menyatakan setuju dengan program TTI yang dibangun Kementerian Pertanian dan mendukung pembentukan TTI di daerah. “Kalau bisa, di Bali minimal ada 1.000 TTI. Artinya, TTI akan ada hampir di setiap banjar (setingkat rukun warga) di Bali,” kata Pastika seusai meresmikan TTI Centre di Kantor Dinas Ketahanan Pangan Bali kemarin.
Pastika juga menyatakan, lonjakan harga beras yang turut mempengaruhi laju inflasi di daerah. Menurut Pastika, lonjakan harga beras di pasar dipengaruhi rantai distribusi beras yang terlalu panjang, mulai dari petani, pengepul atau tengkulak, pedagang perantara, dan selanjutnya sebelum sampai ke pasar. Akibatnya, konsumen membeli beras dengan harga mahal sedangkan petaninya tidak mendapat keuntungan yang layak. “Pemerintah sudah mengatur harga beras namun masih terjadi lonjakan harga beras karena kebutuhannya tinggi,” kata Pastika.
Dengan hadirnya TTI, ujar Pastika, masyarakat dapat membeli beras segar kualitas medium dengan harga Rp 8.800 per kilogram. “Selisih harga beras segar di TTI dengan beras medium di pasar bisa mencapai Rp 2.000 lebih. Dengan harga Rp 8.800 per kilogram, pedagang sudah mendapat untung Rp 200. Yang merugi adalah tengkulak,” kata Pastika.
TTI juga menyediakan aneka bahan pangan, khususnya bahan kebutuhan pokok. Menurut Pastika, TTI dapat menjadi pengembangan usaha yang memberikan keuntungan, baik kepada konsumen, pedagang, maupun petani. “Kalau bisa, dan saya yakin bisa, TTI dikembangkan juga menjadi perdagangan elektronik dengan sistem on line. Konsumen tinggal klik ke sistem on line TTI, barang diantar dengan ojek on line ke tempat konsumen,” ujar Pastika.
Menurut Agung, pengembangan sistem perdagangan elektronik (electronic commerce) untuk TTI sedang diujicobakan di DKI Jakarta. Badan Ketahanan Pangan menyediakan pelatihan dan pendampingan untuk pengembangan sistem perdagangan elektronik untuk TTI di daerah.