Dalam waktu dekat, pemerintah akan menggelontorkan Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 ke rekening para pejabat negara, aparatur sipil negara, tentara, dan polisi. Total nilainya mencapai Rp 22,06 triliun.
Pemerintah juga segera mengalirkan dana Rp 13,7 triliun untuk THR dan pensiun ke-13 ke rekening para pensiunan. Tidak ketinggalan pula para pegawai kontrak atau honorer pada instansi pemerintah pusat akan mendapatkan THR dengan akumulasi nilai Rp 440,38 miliar.
Dengan demikian, total dana yang akan digelontorkan untuk THR dan gaji ke-13 tersebut mencapai Rp 36,2 triliun. Ini mencapai hampir 70 persen dari anggaran tahun lalu.
Kementerian Keuangan menegaskan, pemberian THR dan gaji ke-13 tersebut bukan kebijakan yang tiba-tiba. Sebaliknya, kebijakan itu sudah ditetapkan dalam APBN 2018 melalui pembahasan dan persetujuan dengan DPR.
Terkait besarnya alokasi, Kementerian Keuangan meyakinkan bahwa itu tidak menimbulkan risiko pelebaran defisit APBN 2018. Defisit sampai dengan akhir tahun diproyeksikan tetap sesuai target, yakni 2,19 persen terhadap produk domestik bruto.
Di berbagai media sosial, apa saja selalu menuai pro dan kontra. Tidak terkecuali kebijakan ini. Bahkan, kadar pro dan kotranya termasuk tinggi.
Di salah satu media sosial, ada yang bilang, ”terima kasih Pak Jokowi.” Komentar pro lain misalnya adalah, ”ibu saya pensiunan janda tentara. Baru kali ini beliau menangis terharu mendengar dapat THR.”
Di media sosial yang sama, tak sedikit komentar kontra. Misalnya demikian, ”PNS gaji naik terus, gitu masih kurang dan tak sedikit yang korupsi. Kalau petani hasil panennya mahal dikit, semua teriak.”
Ada pula komentar yang sifatnya menggugat rasa keadilan. Contohnya, ” rakyat yang kecil-kecil dapat apa Pak Presiden?”
Presiden Joko Widodo sendiri saat mengumumkan kebijakan memberikan pesan yang intinya adalah pemberian THR dan gaji ke-13 ditujukan demi kesejahteraan sekaligus peningkatan kualitas kerja aparatur negara.
”Dan saya berharap dengan pemberian THR dan gaji ke-13 ini, bukan hanya bermanfaat bagi kesejahteraan pensiunan, pegawai negeri sipil, prajurit TNI, dan anggota Polri, terutama saat menyambut hari raya Indul Fitri, tetapi juga kita berharap ada peningkatan kinerja ASN dan juga kualitas pelayanan publik secara keseluruhan,” kata Presiden.
Terlepas dari pro-kontra, hal yang pasti adalah bahwa kerja birokrasi pusat maupun daerah secara umum masih jauh dari harapan masyarakat. Tentu ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan sejumlah perbaikan yang terjadi di banyak unit. Namun sekali lagi, kualitas kerja aparatur negara secara umum masih jauh dari harapan masyarakat. Kritik ini berlaku juga untuk para pejabat negara.
Birokrasi konsisten menjadi rapor paling merah setelah korupsi dalam hal bisnis
Cerita perijinan yang lama dan ruwet di berbagai level birokrasi misalnya, masih terjadi sampai hari ini. Ini bukan kasuistis. Sebab, berbagai survei internasional pun memotretnya.
Laporan Daya Saing Global yang diterbitkan World Economic Forum setiap tahun misalnya, mengonfirmasi buruknya kinerja birokrasi di Indonesia. Sejak diterbitkan pada 2004 sampai 2018, birokrasi konsisten menjadi rapor paling merah setelah korupsi dalam hal bisnis.
Dalam Kemudahan Berusaha 2018 yang diterbitkan Bank Dunia, faktor-faktor yang berkorelasi dengan kerja birokrasi juga masih dinilai buruk. Misalnya adalah proses mendapatkan berbagai perijinan yang masih tergolong lama.
Beberapa catatan tersebut menunjukkan bahwa birokrasi mempunyai pekerjaan rumah serius. Jika pembangunan infrastruktur bisa dipercepat, maka upaya reformasi birokrasi mesti dipercepat pula. Ingat, birokasi adalah mesin pembangunan. Soal THR dan gaji ke-13, anggap saja itu pelumasnya.