Masyarakat Indonesia yang bepergian ke luar negeri, sebagian besar, menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi. Kecepatan penyelesaian satu transaksi kartu kredit di meja kasir umumnya di bawah 30 detik. Padahal, jarak antara London, Inggris—tempat transaksi itu terjadi—dan server bank penerbit kartu kredit di Jakarta, misalnya, mencapai 11.709 kilometer.
Jarak itu tak menghalangi kecepatan transaksi. Di mana pun transaksi, proses verifikasi data nasabah bisa berlangsung sangat cepat untuk segera menghasilkan keputusan. Keputusan itu menyangkut, antara lain, apakah transaksi itu benar dilakukan oleh pemegang kartu atau oleh pihak lain yang menyamar sebagai pemilik kartu.
Dengan makin beragamnya modus kejahatan siber, faktor keamanan transaksi menjadi sangat penting. Keamanan transaksi tak boleh mengorbankan kecepatan. Tak perlu khawatir, teknologi akan menanganinya.
Visa Security Summit 2018 yang digelar di Singapura, pekan lalu, menegaskan bahwa pengamanan transaksi pada sistem pembayaran digital mesti terus menjadi perhatian. Kemajuan teknologi tidak saja mempermudah transaksi, tetapi juga dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk berbuat kejahatan. Percobaan serangan ataupun upaya pembobolan ke sistem pembayaran dengan tujuan kriminal terus terjadi, bahkan cenderung meningkat.
Vice Chairman Risk and Public Policy Visa Inc Ellen Richey menuturkan, dengan kemajuan teknologi, deteksi terhadap upaya fraud bisa dilakukan lebih mudah. Sejak 1993 hingga 2017, tren tingkat fraud secara bruto juga turun. Namun, data yang dihimpun sejak 2004 hingga 2017 menunjukkan, paparan terhadap data personal meningkat.
”Dengan metode serangan di dunia maya yang makin beragam, kami mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi serangan itu lebih awal dan menanganinya lebih cepat,” ujar Ellen.
Visa adalah perusahaan yang bergerak dalam sistem pembayaran secara digital. Jaringan pemrosesan global Visa, VisaNet, menyediakan teknologi pembayaran yang aman dan bisa menangani 65.000 pesan transaksi per detik.
Kini, dengan perkembangan transaksi perdagangan yang makin tak terbayangkan, Visa juga bergerak untuk menyambungkan berbagai platform e-dagang dengan berbagai perangkat.
”E-dagang juga menjadi incaran para pelaku kejahatan untuk menyebarkan malware. Kami mengembangkan teknologi untuk menelusuri server-server yang memang digunakan untuk tindakan kriminal menyebarkan malware ke toko e-dagang,” ujar Ellen.
Penetrasi gawai
Regional President Asia Pacific Visa Chris Clark mengemukakan, masa depan sistem pembayaran akan bergantung pada teknologi digital. Peluang pertumbuhan transaksi secara digital masih terbuka lebar. Ini tidak saja terjadi karena sebagian besar transaksi saat ini masih berupa transaksi tunai, tetapi penetrasi gawai, internet, dan e-dagang yang sangat kencang.
Di Asia Pasifik saja tahun lalu transaksi tunai diperkirakan mencapai 6,1 triliun dollar AS atau sekitar 55 persen dari total transaksi. Jika dilihat lebih detail ke kawasan, persentase transaksi tunai di Asia Tenggara justru masih lebih besar lagi. Transaksi tunai di Asia Tenggara mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar 76 persen dari total transaksi.
Di Jepang yang relatif sudah maju, transaksi secara tunai juga relatif masih tinggi. Nilainya sekitar 1,5 triliun dollar AS atau sekitar 68 persen dari total transaksi.
Pada 2017, Visa menangani volume pembayaran sebesar 1,8 triliun dollar AS di Asia Pasifik yang terkoneksi melalui 900 institusi keuangan, 12 juta toko di 42 negara, dan melalui 972 juta keping kartu kredit.
Apalagi, secara global, ada kecenderungan terus meningkatnya transksi e-dagang. Secara global, dalam sebuah survei, diketahui bahwa 7 dari 10 konsumen yang berbelanja secara daring melakukannya menggunakan gawai. Sementara, di China, pada 2015 hingga 2016, pertumbuhan transaksi e-dagang mencapai 230 persen.
Keamanan data
Sejumlah perusahaan juga menyediakan teknologi untuk meningkatkan keamanan data nasabah. Salah satunya adalah EverCompliant yang menyediakan teknologi untuk mendeteksi pencucian uang.
”Pencucian uang untuk berbagai keperluan dan sebab makin masif. Kami menyediakan teknologi untuk mendeteksi lebih awal gejala pencucian uang,” ujar Director of APAC Sales and Operation EverCompliant Sophia Chen.
Data EverCompliant menunjukkan, pada 2016, diperkirakan nilai pencucian uang mencapai 352 miliar dollar AS di tingkat global. Sekitar 10,6 miliar dollar AS di antaranya melalui penjualan barang ilegal secara daring.
Sementara itu, Business Development Director Jewel Paymentech Yong Zi Rui menuturkan, perkembangan ekosistem pembayaran digital melahirkan banyak risiko. Namun, juga terus tumbuh aplikasi untuk memitigasi risiko itu lebih awal sehingga transaksi tetap aman.
”Kami mengembangkan produk yang efektif bagi toko untuk mengelola potensi risiko tinggi dalam setiap transaksi. Itu kami lakukan dengan mengombinasikan analisis prediktif, kecerdasan buatan, dan mesin pembelajaran,” ujar Rui.
Adapun CA Technologies mengembangkan teknologi untuk menghentikan transaksi mencurigakan yang terjadi melalui metode transaksi tanpa menunjukkan kartu (CNP). Transaksi CNP biasanya dilakukan jika seseorang berbelanja secara daring, bukan di toko konvensional.
Senior Director New Business Innovation Asia Pacific CA Technologies Andy Lee mengklaim, melalui aplikasi itu, toko dan pemegang kartu bisa mengurangi 25 persen potensi fraud.