Masalah Tenaga Honorer Akan Berkomplikasi
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian tunjangan hari raya untuk pegawai kontrak atau honorer di kementerian dan lembaga pemerintah pusat akan memicu tuntutan dari pegawai honorer di daerah. Hal ini sekaligus akan membuka persoalan lama, yakni karut-marutnya sistem administrasi kepegawaian pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 440,38 miliar untuk tunjangan hari raya (THR) seluruh pegawai kontrak atau honorer di kementerian dan lembaga di pemerintah pusat. Nilai THR untuk setiap pegawai honorer sebesar satu kali honor bulanan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, di Jakarta, Minggu (27/05/2018), menyatakan, pemberian THR kepada pegawai honorer pemerintah pusat akan memicu tuntutan pegawai honorer di semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Persoalan akan dialami daerah yang kapasitas dananya terbatas.
Namun, lebih dari itu, Endi melanjutkan, pemberian THR akan mengorek persoalan klasik tentang karut-marutnya administrasi kepegawaian di pemerintah pusat dan daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara hanya mengakui pegawai negeri sipil (PNS) dan pejabat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Artinya, keberadaan pegawai honorer tidak diakui.
Konsekuensi dari aturan hukum itu tecermin dari alokasi dana THR dalam anggaran pemerintah. Untuk PNS, THR dialokasikan dalam belanja pegawai. Untuk pegawai honorer di pemerintah pusat, THR dialokasikan dalam belanja barang operasional di setiap kantor.
”Dengan segala hormat kepada pegawai honorer yang benar-benar bekerja keras, terutama di daerah perbatasan dan kepulauan, persoalan pegawai honorer ini adalah persoalan lama yang berakar dari karut-marutnya sistem administrasi kepegawaian pemerintah pusat dan daerah,” kata Endi.
Pada 2009, pegawai honorer di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 1,2 juta orang. Menjelang pemilihan umum, pemerintah menggelar tes masuk PNS bagi pegawai honorer. Hampir 500.000 di antaranya lolos diterima sebagai PNS. Sisanya tidak.
Setelah tes tersebut, pemerintah tidak kunjung membuat kebijakan tegas terhadap pegawai honorer. Akibatnya, berbagai instansi di pusat ataupun daerah terus merekrut pegawai honorer setiap tahun.
Ada sejumlah pertimbangan. Pertama adalah pertimbangan yang masuk akal, yakni kebutuhan tenaga kerja. Ini terutama terjadi pada pegawai honorer di bidang pendidikan dan kesehatan, khususnya di daerah-daerah pedalaman, perbatasan, dan kepulauan.
Pertimbangan kedua adalah keterbatasan anggaran. Satu sisi, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) tidak membuka lagi formasi. Namun, di sisi lain, instansi ingin menambah pegawai dengan berbagai alasan. Jalan keluarnya adalah merekrut pegawai honorer.
Pertimbangan ketiga adalah karena kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Banyak terjadi di sejumlah daerah, pegawai honorer direkrut untuk mengakomodasi tim sukses. Ada pula pegawai honorer yang diangkat atas alasan pribadi kepala daerah. Ini, misalnya, terjadi, sopir bupati dan pembantu rumah tangga bupati diangkat sebagai pegawai honorer.
Tidak bisa pemerintah hit and run terus. Kementerian PAN dan RB harus mengidentifikasi mana pegawai honorer yang benar-benar diperlukan dan bekerja nyata.
Dengan kondisi tersebut, Endi melanjutkan, Kementerian PAN dan RB tidak bisa mengontrol penambahan pegawai honorer di pusat maupun di daerah. Bisa dikatakan, selalu ada penambahan jumlah pegawai honorer setiap bulan.
”Isu keuangan, dalam hal THR pegawai honorer ini, sebenarnya kecil. Tetapi ada isu mendasar yang sejak lama tidak pernah diselesaikan. Akarnya adalah karut-marutnya sistem kepegawaian di pemerintah pusat dan daerah,” kata Endi.
Persoalan menjadi pelik, Endi melanjutkan, karena persoalan pegawai honorer telah dipolitisasi. Para pembina asosiasi pegawai honorer adalah sejumlah politisi di Senayan.
”Tidak bisa pemerintah hit and run terus. Kementerian PAN dan RB harus mengidentifikasi, mana pegawai honorer yang benar-benar diperlukan dan yang bekerja nyata. Mana pegawai honorer yang sebatas mengakomodasi kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Harus ada program untuk menyelesaikan ini,” kata Endi.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menyatakan, pemerintah mengalokasikan THR untuk pegawai honorer pemerintah pusat. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No S-4452 Tahun 2018 tertanggal 24 Mei 2018.
”Pegawai honorer instansi pusat, seperti sekretaris, satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti, dibayarkan tambahan honor sebesar 1 bulan sebagai THR,” kata Nufransa.
Anggaran untuk THR pegawai kontrak pada satuan kerja pemerintah pusat sudah diperhitungkan pada anggaran tempat mereka masing-masing bekerja. Alokasinya berada pada belanja barang operasional perkantoran. Ini berbeda dengan alokasi THR untuk aparatur negara yang berada pada belanja pegawai.
Pegawai honorer instansi pusat, seperti sekretaris, petugas satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti, dibayarkan honor tambahan sebesar 1 bulan sebagai THR. Pegawai honorer tersebut lebih tepat disebut sebagai pegawai kontrak.
Saat ini, menurut Nufransa, semua satuan kerja pemerintah pusat telah mulai memproses pembayaran honor untuk pegawai honorer. Diharapkan, penerima honor juga menerima THR honor sebelum Idul Fitri.
Adapun pegawai honorer yang diberikan THR tersebut meliputi tiga kategori. Pertama, pegawai non-PNS yang diangkat oleh pejabat kepegawaian seperti SK menteri diberikan THR sesuai ketentuan PP No 19/2018 dan PMK No 53/2018. Di dalamnya termasuk dokter PTT, bidan PTT, dan tenaga penyuluh KB.
Kedua, pegawai non-PNS atau pegawai kontrak yang diangkat oleh kepala satker, seperti sopir, satpam, pramubakti, dan sekretaris. Kepada mereka diberikan THR sesuai alokasi pada daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA), kontrak kerja dan SK, berdasarkan PMK No 49/2017 dan pembayarannya menggunakan PMK No 190/2012.