JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar avtur dan depresiasi rupiah yang cukup tajam mendorong maskapai penerbangan untuk meminta penyesuaian tarif oleh pemerintah.
”Paling tidak tarif batas bawahnya dinaikkan,” kata Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (Inaca) Pahala N Mansury saat berbuka puasa bersama media di Jakarta, Senin (28/5/2018).
Pahala yang juga Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk itu mengatakan, depresiasi rupiah yang cukup besar membuat maskapai yang berpenghasilan rupiah akan sangat terasa mengingat 90 persen biaya operasional pesawat dihitung dalam dollar AS.
”Kami sebagai asosiasi ataupun perusahaan sudah menyampaikan kepada pemerintah soal kenaikan biaya operasional yang cukup besar akibat avtur dan nilai tukar,” kata Pahala.
Ia menambahkan, saat ini harga avtur sudah naik 40 persen, sedangkan depresiasi rupiah 4-5 persen. Dengan demikian, kenaikan biaya operasional menjadi sekitar 17 persen.
Pahala menyebutkan, Inaca mengusulkan agar tarif batas bawah dinaikkan dari 30 persen menjadi 40 persen dari tarif batas atas. ”Penyesuaian tarif yang terakhir dilakukan pada 2016. Sekarang, dengan perkembangan yang ada, kami mengusulkan dilakukan penyesuaian tarif kembali. Jika semula 30 persen, kini 40 persen dari tarif batas atas. Hanya tarif batas bawah saja yang disesuaikan," ujarnya.
Dengan demikian, jika tarif batas Rp 100, tarif batas bawahnya tidak lagi Rp 30, tetapi menjadi Rp 40.
Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan belum ada keputusan soal penyesuaian tarif. ”Masih akan dibahas,” kata Budi Karya dalam pesan singkatnya.
Meningkatkan pendapatan
Untuk meningkatkan pendapatan, Pahala mengatakan, Garuda berupaya meningkatkan utilitas pesawat dengan membuka rute dan menambah frekuensi. ”Kami menambah rute domestik dan internasional. Yang domestik misalnya membuka rute Cengkareng-Sorong, sedangkan rute internasional contohnya Denpasar-Mumbai. Untuk rute Mumbai ini perkembangannya sangat bagus. Tingkat okupansinya di atas 80 persen,” katanya.
Dengan perkembangan rute Mumbai yang dinilai baik itu, mulai Juni 2018 frekuensi penerbangan akan ditambah dari dua kali seminggu menjadi tiga kali seminggu. Bahkan, pada akhir tahun, frekuensinya akan menjadi empat kali seminggu.
”Kami juga sedang mempertimbangkan membuka rute di kota lain di India, seperti New Delhi. India ini seperti China, penduduk kelas menengah atasnya sangat banyak dan tersebar di banyak kota. Jadi, potensi untuk membuka penerbangan ke kota-kota lain juga sangat besar,” ujar Pahala.
Dengan membuka rute baru dan menambah frekuensi ini, utilisasi pesawat saat ini sudah meningkat 22 menit menjadi 9 jam 41 menit per pesawat.