JAKARTA, KOMPAS — Masih ada penumpang pesawat yang tak menyadari bahwa gurauan atau candaan mengenai bom dilarang. Hingga kini, gurauan yang mengganggu proses penerbangan itu masih saja dilontarkan.
Hal itu menunjukkan tindakan hukum terhadap pelakunya belum tegas. Kasus terakhir pada Senin (28/5/2018), pesawat Lion Air batal tinggal landas karena ada penumpang yang mengaku membawa bom. Akibatnya, penumpang membuka pintu darurat dan keluar dari pesawat.
Pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, Gerry Soejatman, mencatat, sepanjang Mei 2018 ada 10 kejadian semacam itu. Penumpang memberi informasi palsu bahwa dia membawa bom di pesawat. ”Maskapai harus mengawal hingga proses hukumnya dan jangan merasa cukup dengan permintaan maaf,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (29/5/2018).
Akibat informasi seperti itu, pesawat harus menunda keberangkatan, mengevakuasi penumpang, dan memeriksa pelaku yang mengaku membawa bom.
Gerry mengatakan, semua langkah itu wajib dilakukan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Pelaku yang memberikan informasi palsu dapat dikenakan Pasal 437 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang ancaman hukumannya maksimal 18 tahun penjara.
Anggota Ombudsman RI yang bertanggung jawab atas bidang transportasi, infrastruktur, infokom, dan lingkungan hidup, Alvin Lie, berpendapat, pemerintah dapat menindak pelaku tersebut secara hukum. Jika tidak diproses pidana, dikhawatirkan peristiwa serupa dapat terjadi lagi. ”Ancaman bom itu tindakan teror karena menimbulkan rasa takut. Undang-undang penerbangan harus ditegakkan,” katanya.
Pengamat penerbangan dari Ikatan Alumni Jerman, Henry Tedjadharma, berpendapat, permintaan maaf dari pelaku saja tidak cukup. Setelah diproses secara hukum, pihak maskapai dan bandara harus menyosialisasikan Pasal 437 pada UU No 1/2009 itu.
Henry menambahkan, tindakan hukum terhadap pelaku perlu ditempel di bandara dan dipublikasikan untuk menimbulkan efek jera.
Sebagai mitigasi, kata Henry, sensor-sensor pemeriksaan perlu diperbarui agar lebih sensitif terhadap bahan peledak. Dari sisi sumber daya manusia, petugas dan aparat yang bertanggung jawab perlu lebih sensitif dalam memprofilkan penumpang. Penumpang yang gerak-geriknya mencurigakan perlu diperiksa lebih lanjut.
Kasus-kasus semacam ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut menjelang libur Lebaran 2018. ”Penerbangan yang ditunda akan menghambat jadwal maskapai dan lalu lintas udara. Ketidakaturan pun dapat terjadi antarbandara,” ujarnya.
Di negara lain, seperti Singapura dan Amerika Serikat, penumpang tidak diperkenankan menyebut kata bom sejak di bandara. Henry menceritakan, penumpang yang dengan sengaja atau tidak sengaja menyebut kata bom akan diperiksa petugas.
Terkait langkah penumpang yang membuka pintu darurat untuk keluar tanpa aba-aba dari pramugari, menurut Gerry, memang salah. Namun, hal itu dapat dimaklumi.