Mengawali tugasnya sebagai Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tambahan pada Rabu (30/5/2018). RDG memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin menjadi 4,75 persen. Dua pekan sebelumnya, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.
Langkah itu memunculkan pertanyaan, di antaranya, apakah BI sudah mempertimbangkan dampak dari kenaikan suku bunga acuan? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gubernur BI Perry Warjiyo di kantornya, Rabu petang.
Apa yang menjadi pertimbangan utama BI menaikkan suku bunga acuan?
Apa yang terjadi di Amerika Serikat sejak awal Februari 2018 telah mengubah lanskap keuangan ekonomi global. Dimulai dari pergantian gubernur Bank Sentral AS, The Fed; rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed 3-4 kali pada tahun ini; dan defisit fiskal AS yang semakin besar. Imbal hasil obligasi treasury AS tenor 10 tahun pada akhir tahun ini diperkirakan menjadi 3,35 persen. Hal itu menyebabkan pembalikan modal dari negara maju dan berkembang ke AS sehingga membuat dollar AS menguat dan melemahkan mata uang negara lain, termasuk rupiah. Kami semula mengira fenomena itu temporer sehingga cukup melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, menjelang akhir April 2018, kami melihat fenomena itu menjadi sesuatu yang permanen. Kami dihadapkan pada dua pilihan, apakah dibiarkan terus-menerus melemahkan rupiah atau harus ada kebijakan lain selain intervensi. Kami menyadari intervensi saja tidak cukup dan harus diikuti dengan respons menaikkan suku bunga acuan.
Kenapa begitu cepat menaikkan suku bunga acuan?
Dinamika global terjadi begitu cepat. Probabilitas kenaikan suku bunga acuan The Fed (FFR) yang dulu rendah belakangan semakin tinggi. Apakah ketika kita hidup dalam ketidakpastian akan selalu menunggu? Atau kita preemtif terhadap ketidakpastian itu? BI memilih lebih baik preemtif. Jangan menunggu sampai FFR naik nanti terlambat menanganinya. Untuk itu, kami memilih menaikkan suku bunga acuan secara terukur dan memadukannya dengan kebijakan pro-pertumbuhan ekonomi, yaitu kebijakan makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi digital, dan ekonomi syariah.
Bagaimana BI menimbang antara dampak pelemahan rupiah dengan berakhirnya tren suku bunga kredit rendah?
Kami melihat pelemahan rupiah terhadap ekonomi nasional dampaknya lebih negatif dan lebih segera ketimbang dampak kenaikan suku bunga terhadap ekonomi. Dampak kenaikan suku bunga acuan ke ekonomi diperkirakan baru akan terjadi 1,5 tahun ke depan. Kami berupaya mengurangi ”sakit” pelemahan rupiah dengan menaikkan suku bunga acuan. Memang nanti akan ada ”cubitan” sedikit karena suku bunga kredit perbankan akan naik. Namun, kami akan mengimbanginya dengan kebijakan makroprudensial.