Tas kanvas tak melulu tampil polos. Tas yang kerap kali ditemui dalam kehidupan sehari-hari ini bisa juga tampil gaya, dengan desain unik dan menarik. Kunci mewujudkannya adalah gairah berkarya dan berkreasi.
Toto mengaduk campuran cat biru dan kuning dalam wadah putih sambil memperkirakan volume yang dibutuhkan. Sementara, 100 helai kain kanvas hijau gelap sedang digunting. Nantinya, cat yang diracik Toto akan dicetak di atas kain-kain itu dengan teknik sablon. Tahap selanjutnya, dijahit menjadi tas. Tas bermerek Sackai.
Bentuk Sackai Bags bermacam-macam, antara lain paduan ransel dan tas jinjing, ransel yang bagian atasnya digulung, dan tas tangan. Wadah berbahan kanvas pun ada, yang bisa digunakan untuk membawa telepon seluler, pernak-pernik, dan dompet.
“Saya ingin membuat tas yang multifungsi dan sederhana,” ujar Presi Mandari yang saat ditemui di tempat kerja sekaligus rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Oleh sebab itu, tas Sackai tak asal jahit. Presi lebih dulu melakukan riset terhadap beberapa merek tas. Setelah itu, barulah tas didesain. Adapun Toto mendesain motif pada tas tersebut. Pasangan suami-istri ini bahu-membahu dan berbagi tugas untuk mewujudkan tas yang fungsional, namun tetap gaya.
Motif tas digambar pada film cetakan sablon. Kendati sudah ada cara mencetak langsung ke kain dengan mesin, Toto tetap memilih sablon. “Menurut saya, metode sablon itu teknik mencetak yang abadi. Dari dulu sampai sekarang tidak ada matinya,” katanya.
Film itu diletakkan pada alat rotary screen printing yang berfungsi untuk menempatkan cetakan pada kain kanvas secara presisi. Lantas, hasil racikan warna cat dituang pada cetakan, kemudian disablon pada kain. Agar warnanya tahan lama, kain yang telah disablon itu dimasukkan dalam mesin tekan panas.
Untuk satu kali produksi, Toto dan Presi membutuhkan waktu sekitar seminggu. Kreativitas jadi kunci penting, karena desain motifnya berbeda untuk setiap produksi.
Setiap kali proses produksi, ada sekitar 100-150 tas, dompet, dan yang dihasilkan. Harganya, Rp 200.000-Rp 800.000 per buah.
Untuk mengerjakan tas, dompet, dan wadah tersebut, Presi dan Toto dibantu lima karyawan, yang terdiri dari penjahit dan penyablon. Tak hanya sebagai pekerja, para karyawan ini dilibatkan dalam proses produksi. Mereka diajak berdiskusi, bahkan mengambil keputusan.
Hingga kini, mayoritas konsumen Sackai adalah perempuan. Bahkan, tas dan dompet kanvas ini memiliki satu kelompok pelanggan setia yang beranggotakan sekitar 100 orang.
Untuk menjaga loyalitas pelanggan, Presi selalu menjaga kualitas produknya dengan ketat. Dia akan mengecek jahitan, sablon, ritsleiting, hingga pengemasannya.
Tas-tas yang sudah terjual pun tetap diperhatikan. Ikatan antara penjual dan pembeli tetap terjalin, kendati tas sudah berpindah tangan dari Toto dan Presi ke konsumen.
Kanada dan Malaysia menjadi tujuan pengiriman terjauh Sackai Bags. Presi menjual enam tas ke pembeli berkewarganegaraan Indonesia yang tinggal di Kanada dan sekitar tiga atau empat tas ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Ingar-bingar media sosial dimanfaatkan untuk memasarkan produk Sackai, yakni melalui Instagram. Menurut Presi, sekitar 70 persen produk mereka terjual melalui Instagram.
Meski demikian, penjualan secara luar jaringan atau melalui toko tetap dilakukan, yakni di Alun-alun Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta; Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta; dan di suatu toko oleh-oleh di Seminyak, Bali.
Sampai saat ini, Presi masih mengelola sendiri akun Sackai Bags. “Sebagai pembuatnya, saya ingin berinteraksi langsung dengan pembeli dan calon pembeli. Membaca dan menanggapi komentar, pujian, kritik, dan saran dari mereka menjadi kesenangan tersendiri,” tuturnya.
Belajar sendiri
Kisah tentang Sackai berawal dari "keisengan" Presi belajar menjahit melalui video tutorial di Youtube. Dia memanfaatkan mesin jahit milik ibunya.
Setelah dua tahun belajar mandiri, Presi dan Toto mendirikan Sackai Bags pada 2014. Padahal, saat itu, Presi berprofesi sebagai jurnalis, yang telah bekerja selama delapan tahun di Kantor Berita AFP. Pada 2015, Presi memutuskan untuk fokus berwirausaha.
Toto dan Presi menganggap usaha kreatifnya sebagai wahana bermain. “Kami bersenang-senang dan menemukan kepuasan tersendiri. Misalnya, ketika saya berhasil meracik paduan warna yang pas dengan kain kanvas, rasa puasnya benar-benar tidak dapat digambarkan,” kata Toto.
Bagi mereka, inti dari kerja kreatif adalah mencipta. “Saya yakin usaha kreatif itu akan selalu hidup karena pelakunya dituntut berpikir kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan usaha,” kata Toto.
Semangat dan kebahagiaan bekerja membawa Presi dan Toto unjuk gigi di New York, Amerika Serikat, selama empat hari pada Agustus 2018. Sackai Bags dan tujuh pelaku usaha lainnya, bersama Badan Ekonomi Kreatif RI, akan hadir dalam pameran di New York.
Mereka berharap, Sackai, yang desainnya terinspirasi dari binatang dan tumbuh, dikenal lebih luas.