JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Komisi VII DPR kembali mempersoalkan skema bagi hasil minyak dan gas bumi berdasarkan produksi bruto atau gross split. Sebab, skema ini dianggap belum mampu memperbaiki iklim investasi.
Pada triwulan I-2018, target produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi belum mampu mencapai target. Di sisi lain, menurut pemerintah, skema gross split membuat lelang blok migas laku.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan pimpinan perusahaan hulu migas, Kamis (31/5/2018) di Jakarta, pertanyaan mengenai gross split kembali muncul. Sehari sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), efektivitas skema ini juga ditanyakan sejumlah anggota Komisi VII DPR. Pertanyaan itu berdasarkan pencapaian kinerja Kementerian ESDM pada triwulan I-2018.
Data SKK Migas menunjukkan, lifting minyak hingga 30 April 2018 sebanyak 741.900 barrel per hari. Capaian itu masih di bawah target APBN 2018 yang sebanyak 800.000 barrel per hari. Adapun lifting gas bumi sampai dengan 30 April 2018 sebanyak 6.450 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau masih di bawah target APBN 2018 yang sebanyak 6.720 MMSCFD.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, menyarankan pemerintah mengkaji kembali skema gross split jika diperlukan. ”Jangan sampai gara-gara skema ini, perusahaan besar migas tak mau berinvestasi di Indonesia lagi. Ini akan berbahaya dampaknya bagi eksplorasi. Hanya perusahaan besar yang mau melakukan eksplorasi,” katanya.
Wakil Ketua Komisi VII dari Partai Demokrat, Herman Khaeron, mengatakan, skema gross split yang pertama kali diterapkan di Blok Offshore North West Java (ONWJ) disarankan dievaluasi jika memberikan hasil kurang baik.
Di sela-sela rapat, sejumlah anggota Komisi VII DPR mempertanyakan alasan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) tidak mengikuti lelang blok South East Sumatera. CNOOC masih menjadi operator blok tersebut hingga September 2018. Pemerintah sudah memutuskan kelanjutan pengelolaan blok South East Sumatera diserahkan kepada Pertamina Hulu Energi.
”Kami tidak tertarik dengan skema gross split (sehingga tak ikut lelang). Kalau dengan cost recovery, kami masih bersedia,” ujar Presiden Direktur CNOOC Cui Hanyun menjawab pertanyaan anggota Komisi VII DPR.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, tidak semua pihak mempunyai pendapat yang sama soal gross split. Namun, pihaknya terbuka terhadap segala masukan.
Dalam berbagai kesempatan, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyebut bahwa skema gross split lebih efisien dan menarik ketimbang skema bagi hasil dengan sistem cost recovery (biaya operasi yang digantikan). Dari 10 blok migas yang dilelang pada 2017, lima blok mendapatkan pemenang. Skema yang diterapkan untuk kelima blok tersebut menggunakan gross split.
”Sementara lelang blok migas pada 2015 dan 2016 tak satu pun mendapatkan pemenang dengan skema cost recovery,” ucap Arcandra.
Skema gross split diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil ”Gross Split”. Konsep ini berlaku bagi kontrak migas baru ataupun kontrak hasil terminasi. Adapun untuk kontrak migas hasil perpanjangan, kontraktor punya dua pilihan apakah tetap menggunakan cost recovery atau menggunakan gross split. Kontrak migas menggunakan cost recovery yang masih berlangsung akan tetap dihormati sampai habis masa berlakunya kontrak.