Membingungkan. Kira-kira itu kata yang tepat untuk menggambarkan arah kebijakan energi nasional kita. Jika sebelumnya ada tarik ulur kebijakan soal ekspor mineral mentah, kini terulang lagi tarik ulur penggunaan bahan bakar untuk kendaraan. Mau ke mana arahnya?
Bermula dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Dalam aturan itu, PT Pertamina (Persero) hanya wajib menyediakan dan mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di wilayah selain Jawa dan Bali. Berapa waktu lalu, setelah mendapat laporan kekurangan pasokan premium di sejumlah tempat, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan revisi Perpres itu.
Salah satu poin penting dalam usulan revisi adalah memasukkan Jawa dan Bali sebagai wilayah penugasan Pertamina dalam hal penyediaan dan pendistribusian premium. Singkat kata, pasokan premium diperluas ke seluruh wilayah Indonesia. Hal ini kontras dengan kebijakan di awal pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla yang merekomendasikan penghapusan pemakaian premium lantaran menjadi praktik pemburu rente, selain sifat bahan bakar tersebut yang kotor.
Rekomendasi penghapusan premium di Indonesia lahir dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi yang diketuai Faisal Basri, ekonom dari Universitas Indonesia. Rekomendasi itu dikeluarkan pada Januari 2015. Rekomendasi tim yang dibentuk Kementerian ESDM waktu itu juga sudah disetujui Pertamina. Namun, sekali lagi, alih-alih menghapus peredaran premium, sebaliknya, penggunaan premium hendak diperluas melalui usulan revisi Perpres Nomor 191/2014.
Lagi-lagi, kontras dengan kebijakan tersebut di atas, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan peraturan bernomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Dalam aturan penggunaan BBM bagi kendaraan roda empat itu, RON minimal yang dipersyaratkan adalah 91. Adapun BBM jenis premium memiliki RON 88. Padahal, menengok konsumen RON 88 (premium) di sejumlah SPBU, tak hanya roda dua, kendaraan roda empat pribadi maupun angkutan umum juga ikut mengonsumsi.
Upaya mewujudkan lingkungan lebih bersih dalam penggunaan BBM sudah tepat dengan tidak menjual premium di wilayah Jawa dan Bali. Di dua pulau yang padat penduduk ini, terutama di kota-kota besar, jumlah kendaraan paling banyak lalu-lalang dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Lagi pula, sebelum usulan revisi Perpres Nomor 191/2014 muncul, konsumsi premium sudah menurun dan konsumen beralih memilih BBM jenis pertalite yang memiliki RON 90.
Hingga triwulan I-2018, pertalite menguasai pangsa pasar gasolin sebesar 57 persen. Pada periode yang sama, pangsa pasar premium 27 persen. Sisanya pertamax (RON 92) dan jenis BBM dengan RON di atas 92. Kini, jumlah SPBU yang diwajibkan menjual premium di Jawa dan Bali kembali ditambah seiring dengan rencana revisi Perpres Nomor 191/2014.
Yang terbaru, rencana penerbitan Perpres tentang percepatan pemanfaatan listrik untuk transportasi. Indonesia bakal segera mengembangkan mobil listrik. Namun, formulanya belum tuntas sehingga Perpres tersebut tak kunjung diteken Presiden. Sampai kini masih terjadi perdebatan bagaimana menyusun peta jalan pengembangan mobil listrik di Indonesia.
Sejumlah aturan yang dibuat pada prinsipnya menuju ke hal yang sama, yaitu penggunaan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Tentu aturan yang dibuat lebih dari sekadar mengikuti tren. Apalagi sekadar kebijakan untuk meraih popularitas di masyarakat.
Banyak aturan, banyak yang harus dikerjakan, sekaligus banyak juga yang realisasinya belum sesuai harapan. Pemerintah tampaknya sulit fokus atau masih gamang. Salah satu indikasinya adalah pelaksanaan kebijakan yang tak konsisten. Atau barangkali masih kuatnya ego sektoral dalam penyusunan kebijakan sehingga hasilnya tampak saling tumpang tindih.