JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah. Jika faktor global penahan laju rupiah tidak diantisipasi, penguatan bisa hanya berlangsung dalam jangka pendek.
Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Rabu (30/5/2018), suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate ditetapkan menjadi 4,75 persen. Nilai tukar rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Kamis, sebesar Rp 13.951 per dollar AS. Posisi ini menguat 0,57 persen atau 81 poin dari Rabu, yakni Rp 14.032 per dollar AS.
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, meyakini, kenaikan suku bunga acuan BI berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah. Namun, masih ada sejumlah faktor global penghambat laju penguatan rupiah.
”Beberapa situasi, seperti ancaman krisis keuangan di Italia, Turki, dan Argentina, dikhawatirkan memicu krisis sistemik global. Belum lagi pernyataan pemangkasan pasokan negara-negara pengekspor minyak, OPEC, berpotensi membuat harga komoditas merambat naik,” ujarnya di Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Sejumlah faktor itu membuat penguatan nilai tukar rupiah tidak signifikan kendati BI menaikkan suku bunga acuan.
”Efek penguatan rupiah dirasa kecil karena sebelumnya pelaku pasar sudah memperhitungkan faktor kenaikan bunga acuan dua kali dalam sebulan, dalam transaksi saham di pasar modal,” lanjut Bhima.
Pelaku pasar akan mencermati peluang kenaikan suku bunga lanjutan oleh BI sampai akhir tahun. Selain itu, pelaku pasar juga akan mencermati langkah-langkah yang akan diambil BI dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.
”Sejak awal 2018, rupiah telah melemah 4,62 persen. Yang jadi perhatian utama adalah melihat sinyal berapa kali BI akan menaikkan bunga acuan sampai akhir tahun,” kata Bhima.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta menilai, penguatan rupiah dalam jangka pendek ditopang kepastian kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. ”Sentimen kenaikan suku bunga The Fed agak mereda meski bulan depan diprediksi tetap naik,” ujarnya.
Sementara itu, lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) pada Kamis mengafirmasi peringkat Indonesia pada posisi layak investasi.
Menanggapi hal itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, afirmasi S&P pada BBB- dengan outlook stabil merupakan cerminan kondisi fundamen RI yang baik dan kerangka kebijakan yang kredibel.
”Afirmasi itu memperkuat keyakinan investor terhadap prospek ekonomi RI di tengah ketidakpastian global yang berlanjut,” ujar Perry dalam siaran pers.
Koreksi IHSG
Penguatan nilai tukar rupiah tidak terjadi di bursa saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan, Kamis, di posisi 5.983,587 atau melemah 0,457 persen.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio berpendapat, langkah BI menaikkan suku bunga acuan merupakan bentuk penyesuaian dengan kondisi global. Sebab, kenaikan suku bunga The Fed sempat berlangsung agresif sehingga menekan nilai tukar rupiah.
”Ini bentuk penyesuaian yang sudah diprediksi. Dana asing bukan berkurang, tapi diharapkan masuk karena imbal hasil obligasi dalam negeri naik,” kata Tito.
Namun, pergerakan IHSG tak hanya dipengaruhi suku bunga acuan, tetapi juga perombakan akhir saham yang terdaftar di Morgan Stanley Capital International (MSCI). Sejumlah emiten BEI yang sebelumnya terdaftar di MSCI dikeluarkan dari daftar beberapa saat setelah pengumuman kenaikan suku bunga BI.
Hal tersebut memengaruhi perilaku pelaku pasar asing yang justru melakukan aksi jual di pasar reguler sebesar Rp 252,97 miliar pada hari yang sama. Tito berharap suku bunga acuan BI bisa bertahan pada posisi 4,75 persen untuk sementara waktu.
”Sebenarnya, suku bunga itu musuh untuk pasar modal. Akan tetapi, kalau melihat kondisi dunia, sangat wajar menaikkan suku bunga kemarin. Namun, saya harap besaran suku bunga acuan BI tidak dinaikkan lagi,” ujar Tito.
Menanggapi kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 50 basis poin dalam dua pekan terakhir, Direktur Departemen Asia Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) Changyong Rhee dalam siaran pers menyampaikan, langkah tersebut tepat. Langkah BI itu merupakan upaya untuk mengantisipasi risiko inflasi dari penguatan dollar AS secara global, suku bunga yang tinggi, dan harga minyak dunia.