JAKARTA, KOMPAS — Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia berpandangan bahwa pengembangan mobil listrik adalah hal bagus. Namun, hal utama yang harus dikuasai adalah teknologi pembuatan baterai dan juga pengelolaan daur ulang baterai.
”Apalagi, baterai adalah inti dari mobil listrik. Sebagai gambaran, dari bobot satu bus listrik yang berkisar 2,7-2,8 ton, sekitar 2 ton di antaranya bobot baterai,” kata Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi di Jakarta, Kamis (31/5/2018).
Dia menuturkan, saat ini yang bisa mendaur ulang baterai cuma satu dua negara, semisal Belgia. ”Kalau sekarang Indonesia sudah bisa membikin baterai yang dapat didaur ulang, saya senang sekali. Namun, kalau Indonesia hanya menjadi pasar, di mana baterai harus ambil dari luar negeri, ya buat apa?” ujar Yohannes.
Yohannes mempertanyakan apa gunanya Indonesia harus mengimpor baterai yang nilainya bisa 40-50 persen dari nilai mobil listrik. ”Dan apa gunanya mematikan industri otomotif yang sekarang komponen lokalnya sudah 80-90 persen?” katanya.
Menurut Yohannes, jangan sampai ada kebijakan yang memberi batasan, misalnya bahwa di tahun 2040 tidak boleh lagi ada kendaraan selain kendaraan listrik. Pasar atau konsumen harus diberi kebebasan dalam memilih kendaraan yang diminati atau dibutuhkan sehingga pergantian pun berjalan alamiah.
”Lepaskan kepada pasar. Saya ambil contoh. Dulu orang tidak mau terima mobil matik, senangnya manual. Tapi lama-lama mobil matik disukai orang,” katanya.
Pengembangan mobil listrik juga dianggap butuh kesiapan infrastruktur. Pengisian bahan bakar ke mobil saat ini hanya butuh waktu sekitar dua menit. ”Pengisian baterai mobil listrik butuh waktu sekitar 2-2,5 jam dan itu pun pakai yang bervoltase tinggi, misal 450 volt, sehingga kabel yang panas pun harus ada pendingin. Tidak gampang kalau seluruh Indonesia mau dibikin begitu,” katanya.
Menurut dia, tujuan mobil listrik adalah untuk mengurangi emisi yang biasanya dihasilkan oleh mobil-mobil biasa. Selain itu juga mengurangi pemakaian bahan bakar fosil yang sifatnya bisa habis.
”Pengurangan emisi harus dilihat dari awal hingga akhir. Artinya, dari awal harus diketahui asal listrik untuk mobil listrik tersebut,” kata Yohannes.
Tujuan pengurangan emisi akan tercapai apabila listriknya berasal dari, misalnya, pembangkit listrik tenaga angin dan air.
Namun, tujuan dinilai tidak akan tercapai apabila listrik tersebut masih dihasilkan oleh pembangkit dengan emisi gas buang tinggi, seperti pembangkit listrik berbasis batubara. ”Ini karena target Paris Agreement-nya tidak bisa dicapai,” kata Yohannes.
Terkait efisiensi, dia menuturkan bahwa mobil plug in hybrid pun saat ini mampu menempuh jarak 60-70 kilometer per liter bahan bakar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto menuturkan, pelaku industri memerlukan kepastian dalam menjalankan investasi jangka panjang. ”Ketidakpastian dalam kebijakan akan memberi sinyal kurang positif kepada investor,” katanya.
Harjanto mengatakan, selama ini sudah ada peta jalan bahwa pada 2025 sedikitnya 20 persen dari total produksi mobil nasional akan mengarah ke kendaraan emisi rendah yang bisa diisi kendaraan listrik. Persentase kendaraan rendah emisi di tahun 2030 sekitar 25 persen dan tahun 2035 sebanyak 30 persen.
”Konsumen pasti akan memilih kendaraan yang lebih efisien. Tentu juga akan melihat harga. Ini seperti peralihan minat dari kendaraan dua tak ke empat tak. Tanpa diatur-atur pun orang akan meninggalkan mesin yang boros dan banyak asap,” kata Harjanto.
Sebelumnya Harjanto pun menuturkan bahwa hingga beberapa puluh tahun ke depan masih akan ada berbagai varian kendaraan di dunia.
Merujuk Energy Techology Perspectives 2017 -International Energy Agency, diperkirakan 64 persen kendaraan di tahun 2020 adalah kendaraan berbahan bakar gasolin.
Persentase kendaraan diesel 18 persen, kendaraan berbahan bakar gas alam terkompresi (CNG) 3 persen, kendaraan hibrida 6 persen, kendaraan plug in hybrid (PHV) 4 persen, dan kendaraan listrik 5 persen.
Komposisi di tahun 2030 berubah, yakni kendaraan gasolin berkurang menjadi 51 persen, diesel 14 persen, CNG 3 persen, hibrida 12 persen, PHV 11 persen, dan kendaraan listrik 8 persen. Di tahun 2040 komposisi berubah lagi, kendaraan gasolin 35 persen, diesel 11 persen, CNG 3 persen, hibrida 15 persen, PHV 20 persen, dan kendaraan listrik 15 persen.
”Artinya, sampai tahun 2040, varian kendaraaan di dunia diperkirakan masih seperti ini. Membatasi pengembangan kendaraan hanya di mobil listrik berarti membatasi pasar ekspor kita hanya di angka 15 persen pada 2040 tersebut,” kata Harjanto.