Harga eceran tertinggi atau HET beras bakal diturunkan lagi. Dalih pemerintah, demi daya beli masyarakat, sekaligus memangkas rantai pasok. Rencana penurunan HET pun disebut telah diputuskan dalam rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian. Regulasinya akan segera terbit.
Pertanyaannya, apakah penurunan HET bakal menekan harga beras? Sebab, dengan HET yang lebih tinggi saja terbukti gagal? Tengoklah tren harga beras sembilan bulan terakhir. Sejak Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan HET Beras yang berlaku pada September 2017, harga beras belum pernah benar-benar menyentuh HET, apalagi terjun lebih rendah. Di tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, sebagaimana data Food Station Tjipinang Jaya, harga rata-rata beras medium terendah selama September 2017 hingga Mei 2018 tercatat Rp 9.725 per kg.
Secara nasional, rata-rata harga beras terendah selama kurun waktu yang sama tercatat Rp 11.250 per kg sebagaimana data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional. PIHPS adalah penyedia info harga 10 komoditas pangan utama kontributor inflasi yang diperkenalkan Bank Indonesia dua tahun lalu. Informasi dirangkum dari 164 pasar di 82 kota/kabupaten yang menjadi sampel penghitungan indeks harga konsumen oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Data PIHPS Jakarta bisa menjadi alternatif untuk melihat situasi harga beras di pasaran. Pada Sabtu (1/6/2018), harga rata-rata enam jenis beras yang dipantau di pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta berkisar Rp 9.485-Rp 12.772 per kg, hanya jenis IR III (IR 64) yang kurang dari Rp 10.000 per kg. Padahal, sebagaimana diatur dalam Permendag No 5/2017, HET beras medium di Pulau Jawa adalah Rp 9.450 per kg.
Harga beras memang turun signifikan selama dua bulan terakhir. Tentu bukan karena ketentuan HET, melainkan pasokan yang bertambah, terutama dari panen rendeng (Oktober-Maret), juga suplai dari sejumlah program pangan dan intervensi pasar. Lalu, apa urgensi menurunkan lagi HET beras jika pasar hanya tunduk pada hukum permintaan dan penawaran? Tidakkah kebijakan ini hanya akan menyakiti hati petani karena hasil jerih payahnya dipatok murah?
Jika benar HET beras medium akan diturunkan lagi dari Rp 9.450 per kg jadi Rp 8.900 per kg, berapa harga gabah di tingkat petani yang dikehendaki pemerintah? Pedagang tentu tak mau rugi. Jika HET dipatok turun, logikanya, mereka akan menekan harga pembelian. Pengusaha penggilingan padi, pengepul, dan tengkulak pun bakal bergerak ke hulu. Petanilah korbannya.
Alasan yang kerap dibangun tentang mengapa beras mesti murah adalah bahwa petani merupakan konsumen murni (net consumers) beras. Namun, petani padilah yang justru menjadi korban.
Sayangnya, instrumen perlindungan harga di tingkat petani sudah lama tertinggal. Sampai kini, pemerintah masih menggunakan Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah sebagai acuan. Jika dihitung sejak tahun 2012, akumulasi inflasi telah lebih dari 28 persen, tetapi harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras hanya naik 12 persen.
HPP gabah kering panen (GKP), menurut inpres itu, Rp 3.700 per kg di tingkat petani. Padahal, sejumlah survei menunjukkan, ongkos produksinya telah lebih dari itu. Survei International Rice Research Institute (IRRI) tahun 2013-2014, misalnya, mencatat ongkos produksi padi di Indonesia Rp 4.079 per kg GKP. Adapun ongkos produksi GKP, menurut survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), pada Januari 2018 telah mencapai Rp 4.286 per kg.
Perbaikan daya beli dengan memurahkan harga pangan selalu kontroversial. Alasan yang kerap dibangun tentang mengapa beras mesti murah adalah bahwa petani merupakan konsumen murni (net consumers). Namun, petani padilah yang justru menjadi korban sebab produk mereka seolah ”tidak boleh” mahal. Seolah harga gabah harus murah agar harga beras terjangkau masyarakat konsumen.
Kiranya tepat argumen bahwa problem struktural tentang kemiskinan dan rendahnya daya beli perlu diselesaikan dengan meningkatkan pendapatan, bukan dengan menekan semurah-murahnya harga hasil produksi petani.
Mengendalikan harga pangan memang perlu. Namun, menjaga asa petani melalui insentif harga tidak kalah penting. Tidakkah pemerintah belajar dari hengkangnya jutaan rumah tangga dari sektor pertanian dua dekade terakhir? Mereka tak berdaulat atas hasil kerja kerasnya, lalu perlahan minggir dan hengkang karena usahanya tak lagi menjanjikan penghidupan.