JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Industri Pengolahan Susu memperkirakan kebutuhan pasar susu naik dari 3,2 juta ton tahun 2010 jadi 6,2 juta ton tahun 2020 atau tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun. Namun, produksi susu segar dalam negeri tumbuh lebih rendah, yakni 5,5 persen.
Sederet problem di hulu perlu segera dituntaskan agar peternak sapi perah rakyat dapat menikmati pertumbuhan pasar. Kendala yang masih dihadapi peternak, antara lain, terkait rendahnya mutu dan harga jual susu, lahan pakan, serta skala produksi.
Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boediyana, di Jakarta, Minggu (3/6/2018), menyatakan, berdasarkan proyeksi Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), potensi pasar susu dalam negeri tahun 2018 sekitar 5,5 juta ton setara susu segar. Sementara produksi susu segar sekitar 900.000 ton.
Kenyataannya, produksi susu susu segar hanya sekitar 1.500 ton per hari dan diperkirakan hanya 650.000 ton tahun ini. Angka itu hanya 13 persen dari potensi pasar sehingga impor bakal lebih tinggi. Menurut Teguh, besarnya devisa untuk impor adalah peluang untuk memacu produksi dalam negeri.
Tanpa perlindungan
Lebih dari 95 persen susu segar yang dihasilkan peternak dijual sebagai bahan baku ke industri pengolahan susu. Harganya berkisar Rp 5.000-6.000 per liter. Namun, setelah diolah menjadi produk susu harganya Rp 15.000-30.000 per liter. Hal ini jadi indikasi bahwa peternak rakyat tidak menikmati nilai tambah.
Menurut Teguh, sejak Instruksi Presiden 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional dicabut tahun 1998, peternak sapi perah yang tergabung dalam wadah koperasi seperti anak hilang. Tak ada regulasi pelindung dan mereka harus berlaga pada era persaingan bebas.
Kontribusi susu segar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pun terus turun. Kementerian Pertanian dalam Outlook Susu 2017 menyebutkan, porsi produksi dalam negeri turun dari 25,13 persen tahun 2008 jadi 19,37 persen di tahun 2015.
Menurut Teguh, pengembangan susu dalam negeri mutlak butuh dukungan pemerintah. Selain menerbitkan payung hukum yang menghapus sekat egoisme sektoral, pemerintah perlu menyusun rencana pengembangan berdasarkan data akurat, memberi insentif ke peternak, dan memberi perhatian pada pengembangan pedet.
Pacu produksi
Kontribusi susu segar dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional tak sampai 25 persen. Oleh sebab itu, produktivitas sapi perah ditingkatkan baik dari segi kuantitasnya maupun faktor pendukungnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Pertanian melalui Badan Pusat Statistik, kontribusi susu segar dalam negeri sebesar 20,74 persen dalam memenuhi kebutuhan nasional 2017. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fini Murfiani memaparkan, produksi susu segar dalam negeri berkisar 922.970 ton, sedangkan kebutuhan susu segar nasional mencapai 4,4 juta ton.
Melalui instrumen Peraturan Menteri Pertanian 26/2017, Fini mendorong kemitraan antara koperasi peternak dan industri pengolahan susu. ”Prinsipnya harus saling menguntungkan karena kedua belah pihak saling membutuhkan,” ucapnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Kemitraan itu dikontrol dengan perjanjian tertulis dari kedua belah pihak. Fini berharap, IPS dapat memberikan sapi perah pada peternak sebagai salah satu bentuk fasilitas yang tertera dalam kemitraan. Dia mencatat, sekitar 24 IPS telah mengirimkan proposal ke pihaknya.
Pada 2025, Fini menargetkan kontribusi susu segar dalam negeri terhadap kebutuhan nasional mencapai 60 persen. Akhir tahun ini, dia mengejar proporsi kontribusi sebesar 21 persen.
Untuk mencapai target itu, Kementerian menargetkan jumlah sapi perah di Indonesia pada 2025 mencapai 1,33 juta ekor dengan kapasitas produksi 16,5 liter/hari/ekor. Per 2017 tercatat, jumlah sapi perah sebanyak 544.791 ekor dengan kapasitas produksi 12,47 liter/ekor/hari.
Kebutuhan sapi perah ini nyata di tingkat peternak. Akan tetapi, Ketua Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Aun Gunawan mengatakan, pihaknya belum merasakan dampak kemitraan tersebut terhadap jumlah sapi perah.
Meski terdiri atas sekitar 4.500 peternak, jumlah peternak KPBS Pangalengan yang memiliki sapi berkisar 2.700 orang. ”Kami membutuhkan tambahan sapi perah,” ujar Aun saat dihubungi, Minggu (3/6/2018).
Secara umum, jumlah sapi di KPBS Pengalengan berjumlah 13.000 sapi dan terdiri dari sapi betina produktif, sapi betina bunting, dan sapi jantan. Sebagian besar peternak di sana memiliki 2-3 ekor sapi perah. Aun mengatakan, hanya 176 peternak yang memiliki sapi perah di atas enam ekor.
Setiap hari, KPBS Pangalengan memperoleh 85 ton susu segar. Harga beli yang diberlakukan kepada peternak Rp 5.000 per kilogram (kg)
Menurut Aun, sebaiknya peternak memiliki sapi perah masing-masing minimal lima atau enam ekor. Jumlah sapi ini berbanding lurus dengan profit yang didapatkan.
Lahan rumput
Selain jumlah sapi, lahan rumput untuk pakan juga di bawah angka ideal. Aun mengatakan, seharusnya setiap 10-15 ekor sapi mendapatkan lahan rumput seluas satu hektar.
Saat ini, hanya 100–200 ekor sapi yang difasilitasi lahan rumput seluas kira-kira 1.000 meter persegi. Akan tetapi, tidak ada payung hukum yang melindunginya.
Ketersediaan lahan rumput juga berpengaruh pada tingginya ongkos produksi susu di tingkat peternak. ”Kalau rumput ada, peternak cukup mengeluarkan modal Rp 10.000–Rp 15.000 per hari untuk pakan. Karena tidak ada, sebagian besar peternak sapi perah membeli konsentrat dengan harga Rp 3.000 per kg. Kebutuhan konsentrat ini dapat mencapai 10 kg per hari,” tutur Aun. (JUD)