JAKARTA, KOMPAS Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 50 basis poin atau 0,5 persen menimbulkan tantangan bagi sejumlah sektor usaha. Sebab, kenaikan suku bunga acuan ini akan berdampak terhadap suku bunga simpanan dan pinjaman.
Dikhawatirkan, dampaknya merembet ke sektor usaha. Menurut data BI yang dikutip Kompas, Minggu (3/6/2018), per April 2018, kredit perbankan tumbuh 8,9 persen dalam setahun. Adapun dana pihak ketiga tumbuh 7,4 persen secara tahunan.
Sektor properti diprediksi melemah akibat kenaikan suku bunga acuan yang menjadi 4,75 persen itu. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata menyampaikan, investasi di sektor properti tertinggal dari investasi di sektor keuangan. ”Dengan kenaikan suku bunga, sektor keuangan menjadi lebih menarik sehingga orang semakin nyaman menyimpan uang di instrumen keuangan ketimbang investasi di properti. Tren ini secara psikologis membuat kebangkitan sektor properti kian berat,” katanya.
Soelaeman juga khawatir, kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah membuat konsumen semakin berat memiliki rumah. Padahal, ada potensi suku bunga konstruksi naik sehingga membebani pengembang. Hal ini berdampak pada suplai rumah yang berkurang.
Namun, pengembang tetap menyiapkan strategi menghadapi kondisi ini, di antaranya mempercepat penjualan produk properti yang sudah dipasarkan. Strategi lain, memangkas margin keuntungan pengembang agar properti semakin menarik untuk investasi.
Industri galangan kapal juga bersiap menanggung peningkatan beban keuangan yang memengaruhi daya saing. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan meningkatkan beban keuangan perusahaan.
Ketua Umum DPP Ikatan Perusahaan Industri Galangan Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Eddy Kurniawan Logam menyebutkan, perusahaan galangan nasional harus berupaya memperoleh sumber dana selain perbankan. Sumber dana yang dibidik adalah pasar modal dan penerbitan obligasi.
Normalisasi
Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) Maryono menilai, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan untuk menormalisasi pengaruh ekonomi global. Indonesia memiliki fundamen perekonomian makro yang cukup kuat, yang ditandai dengan berbagai indikator, seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang cukup baik.
Menurut Maryono, kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada Mei lalu diyakini tak berdampak pada perbankan. ”Namun, kami tetap menunggu dan melihat kondisi pasar seperti apa,” kata Maryono.
Jika pasar terganggu, perbankan akan menyesuaikan dengan kondisi pasar secara hati-hati. Penyesuaian itu dengan cara menaikkan suku bunga deposito.
Maryono berharap BI menjaga langkah menaikkan suku bunga acuan. ”Kenaikan suku bunga acuan BI harus menjadi tindakan terakhir dari tindakan yang lain,” katanya.
Bagi industri makanan dan minuman, langkah BI menaikkan suku bunga acuan membebani dunia usaha. Padahal, dunia usaha memerlukan dorongan investasi melalui suku bunga rendah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menyebutkan, pengusaha makanan dan minuman menyiasati kondisi itu dengan mencari alternatif pembiayaan. Langkah lain adalah menekan impor dan berupaya meningkatkan ekspor.
”Kami berharap BI menjaga nilai tukar rupiah stabil. Pemerintah diharapkan juga menyelesaikan masalah dan kondisi kebijakan yang memberatkan dunia usaha. Ini semua untuk meningkatkan daya saing di pasar global,” kata Adhi.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan dapat dimaklumi. Sebab, langkah itu untuk meredam arus modal keluar yang terjadi akibat kondisi ekonomi global.
Joko berharap kenaikan suku bunga acuan BI tidak berdampak pada kenaikan suku bunga kredit bagi sektor usaha. Selama ini, suku bunga kredit di Indonesia sudah cukup tinggi, yakni 12-13 persen.
Padahal, kata Joko, tantangan dunia usaha bukan hanya kondisi ekonomi global dan suku bunga kredit, melainkan juga iklim investasi. (LKT/ARN/FER/CAS)