JAKARTA, KOMPAS — Langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Mei, mendorong penguatan rupiah. Sehari setelah BI menaikkan suku bunga acuan yang kedua kalinya pada dua pekan terakhir bulan Mei, rupiah menguat, meninggalkan kisaran Rp 14.000 per dollar AS.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah pada Senin (4/6/2018) sebesar Rp 13.872 per dollar AS. Nilai tukar ini menguat dari Kamis (31/5, yakni Rp 13.951 per dollar AS dan Rabu (30/5) sebesar Rp 14.032 per dollar AS.
Saat ini, pasar menunggu konsistensi kebijakan BI.
“Meskipun kenaikan suku bunga acuan membuat pasar modal tidak menarik lagi bagi investor, namun penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS meyakinan investor terhadap stabilitas ekonomi domestik,” ujar analis Narada Kapital Indonesia, Kiswoyo Adi Joe, di Jakarta, Senin.
Penguatan rupiah ini ikut mengerek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 6.000. Kemarin, IHSG ditutup pada 6.014,819 atau menguat 0,522 persen. Kapitalisasi pasar saham Rp 6.736 triliun. Namun, investor asing tercatat membukukan jual bersih Rp 40,479 triliun sejak awal 2018 hingga kemarin.
Untuk menjaga momentum positif level IHSG, lanjut Kiswoyo, emiten harus mampu menjaga kinerja positif mereka di tengah kenaikan suku bunga. Kendati tidak semua emiten terpengaruh, namun sebagian emiten yang mencari sumber pendanaan dari pinjaman bank atau penerbitan surat utang akan terbebani kenaikan suku bunga.
“Biasanya, surat utang emiten lama menggunakan patokan suku bunga tetap, sehingga saat suku bunga berubah, bunga utang lama tidak terpengaruh. Lain halnya jika emiten sebelumnya menerbitkan surat utang atau meminjam bank dengan suku bunga berubah,” ujarnya.
Pada saat suku bunga naik, emiten bisa memilih sumber pendanaan lain, seperti penawaran saham terbatas. Perusahaan yang belum melantai di Bursa Efek Indonesia, tambah Kiswoyo, juga bisa mempertimbangkan penawaran saham perdana.
Sementara, Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas, menyebutkan, kebijakan BI berdampak positif. Sebab, pasar tak lagi mengkhawatirkan depresiasi rupiah.
Meski demikian, Alfred menyampaikan, ada dua hal negatif yang bisa memicu kekhawatiran pasar modal. Satu, kenaikan suku bunga yang akan menahan laju pertumbuhan ekonomi. Dua, kekhawatiran biaya dana perusahaan dan emiten.
"Ini masih harus ditunggu, apakah perbankan ikut-ikutan menaikkan suku bunga kredit saat ada kenaikan 50 bps terhadap suku bunga acuan BI," katanya.
Lebih lanjut Alfred menyampaikan, pasar menunggu konsistensi BI. Terutama, terkait perbankan yang diharapkan tak menaikkan suku bunga pasca kenaikan suku bunga acuan BI.
Atraktif
Pasca kenaikan suku bunga acuan BI menjadi 4,75 persen, perdagangan Surat Berharga Negara kembali atraktif. Hal ini terjadi seiring penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
”Dengan penguatan rupiah, pasar SBN menjadi atraktif kembali. Ramainya transaksi SBN mendorong kenaikan harga SBN. Dengan kata lain, imbal hasil turun,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, di Jakarta, kemarin.
Pada 31 Mei, imbal hasil tenor 10 tahun dan 5 tahun turun pada rentang 5-17 basis poin. Transaksi di pasar SBN per 30 Mei 2018, menurut Luky, masih mencatatkan penjualan bersih oleh investor asing senilai Rp 349 miliar. Namun, sehari pasca kenaikan suku bunga acuan menjadi 4,75 persen, transaksi oleh investor asing mencatatkan pembelian bersih hingga mencapai Rp 6,27 triliun.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, berpendapat, posisi kebijakan moneter BI yang cenderung ketat akan memperbesar rentang antara suku bunga di AS dengan di Indonesia. Hal ini akan membuat aset investasi dalam denominasi rupiah menjadi lebih menarik.
Selain dipengaruhi ekspektasi kenaikan suku bunga BI, lanjut Josua, apresiasi di pasar obligasi juga dipengaruhi masuknya aliran modal asing.
Sementara itu, pengembang listrik dari energi terbarukan terkena dampak kenaikan suku bunga. Sebab, jika perbankan menaikkan suku bunga -mengikuti kenaikan suku bunga acuan-, proyek pembangkit listrik energi terbarukan akan semakin sulit memperoleh pembiayaan bank.
Saat ini, dari 70 kontrak jual beli tenaga listrik energi terbarukan, sebanyak 46 kontrak di antaranya kesulitan memperoleh pembiayaan.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PPLTA) Riza Husni, suku bunga pinjaman secara otomatis akan naik dengan kenaikan suku bunga bank. Namun, selain masalah pembiayaan yang dihadapi pengembang, skema kontrak jual beli tenaga listrik yang lebih ramah lingkungan juga dibutuhkan pengembang.
Sementara, PT Adaro Energy Tbk mengaku tidak mendapat masalah dengan kenaikan suku bunga acuan.
(DIM/LAS/APO)