ROMA, KOMPAS--Organisasi Pangan Dunia atau FAO menetapkan 5 Juni sebagai Hari Melawan Pencurian dan Penangkapan Ikan Ilegal. Penetapan ini dilakukan karena kerugian akibat kejahatan perikanan ini mencapai 10 miliar dollar AS hingga 23 miliar dollar AS setiap tahun.
Direktur Jenderal FAO Jose Graziano da Silva mengatakan, penetapan ini dilakukan karena pencurian ikan kian masif.
Indonesia, tambah da Silva, merupakan inspirasi dalam penetapan hari melawan pencurian dan penangkapan ikan secara illegal ini.
"Kami butuh komitmen dari semua negara untuk terlibat dalam upaya memerangi pencurian dan penangkapan ikan secara ilegal. Uni Eropa sudah menunjukkan kesungguhan untuk terlibat di dalamnya," ujar da Silva saat meluncurkan Hari Melawan Pencurian dan Penangkapan Ikan Ilegal di Markas FAO, Roma, Italia, Selasa (5/6/2018).
Komisioner Uni Eropa bidang Lingkungan, Maritim, dan Perikanan, Karmenu Vella menambahkan, upaya memberantas pencurian dan penangkapan ikan secara ilegal tidak bisa hanya dilakukan negara. Namun, juga perlu melibatkan masyarakat dan organisasi non-pemerintah.
"Kami sudah membuat aturan agar semua negara Uni Eropa menolak ikan hasil penangkapan ilegal. Kami sudah mengeluarkan 25 kartu kuning terkait pelanggaran itu. Dari pengalaman kami, warga lebih dari 50 negara terlibat dalam pencurian ikan," katanya.
Menteri Kelautan dan Kelautan Susi Pudjiastuti menyatakan, Indonesia sudah menindak setidaknya 363 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia. "Ratusan kapal asing itu mencuri ikan yang menjadi hak nelayan kita. Kita punya jutaan nelayan yang akibat pencurian ikan, mereka jauh dari sejahtera," ujar Susi.
Pertemuan bilateral
Sebelum menghadiri penetapan Hari Melawan Pencurian dan Penangkapan Ikan Ilegal, Susi bertemu Vella di Indonesia Room markas FAO. Seusai pertemuan, Vella menjelaskan, Uni Eropa mendukung kebijakan Indonesia untuk mengatasi pencurian ikan dalam rangka mencapai ketahanan pangan di bidang perikanan.
Uni Eropa juga siap menyukseskan pertemuan untuk membahas hal itu di Bali pada 29-30 Oktober 2018. Pertemuan akan diikuti sekitar 120 negara.
"Kami akan melacak sejumlah kesepakatan soal maritim yang sudah ada untuk mengetahui apa yang sudah dikerjakan dengan kesepakatan itu," ujar Vella.
Susi menambahkan, sudah banyak kesepakatan di bidang maritim yang dibuat banyak negara. Akan tetapi, selama ini belum ada yang memantau, apakah kesepakatan itu dilaksanakan atau tidak. "Kita tidak mencari kesepakatan-kesepakatan baru. Yang penting apakah kesepakatan yang ada sudah dilaksanakan atau tidak," ujarnya.