JAKARTA, KOMPAS - Kejahatan siber dalam bentuk pemesanan fiktif mengganggu persaingan pasar transportasi daring. Selain itu, pemesanan fiktif juga merugikan pelaku industri dan konsumen.
Terjadi beberapa kasus terkait pemesanan fiktif transportasi daring pada tahun 2018 ini. Pada 31 Januari 2018, misalnya, polisi menangkap komplotan yang terdiri dari 10 pengemudi taksi daring. Mereka meretas sistem perusahan aplikasi transportasi daring, Grab.
Hasilnya adalah mereka seolah mengantarkan penumpang pada jam sibuk padahal tidak. Grab dirugikan hingga sekitar Rp 600 juta. (Kompas, 1/2/2018)
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara, seusai diskusi terkait fenomena transportasi daring, di Jakarta, Kamis (5/6/2018), menyatakan, pemesanan fiktif membuat pasar perdagangan jasa transportasi daring.
“Di suatu wilayah, biasanya terdapat suatu titik kumpul untuk menunggu order,” kata Bhima. Ketika pemesanan fiktif terus dilakukan di tempat itu, pengemudi yang sebenarnya dan pelanggan akhirnya tidak percaya dan tidak berkumpul di titik itu tersebut.
Selain itu, pemesanan fiktif merugikan pelaku industri. Indonesia saat ini memiliki dua perusahaan aplikasi transportasi daring, yakni Gojek dan Grab. Menurut Bhima, kedua perusahaan itu telah mengalami kerugian hingga miliaran rupiah sejak kasus tersebut marak terjadi.
Berdasarkan survei oleh Indef terkait pemesanan fiktif pada April-Mei 2018 kepada 516 mitra Gojek dan Grab, 38,7 persen mitra pengemudi menerima pemesanan fiktif 2-3 kali seminggu.
Pemesanan fiktif membuat perusahaan harus membayar insentif kepada mitra pengemudi. Padahal, pelaku pemesanan fiktif tidak bekerja. “Hal ini tidak sehat, apalagi perusahaan rintisan mengejar sustainability,” ucap Bhima.
Sedangkan kerugian bagi penumpang adalah mereka akan membutuhkan waktu tunggu lebih lama karena pengemudi terbaca di aplikasi, tetapi ternyata mengambil pemesanan. Kendati demikian, penumpang tidak akan merasakan kerugian finansial.
Ahli keamanan siber dari Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Dahlian Persadha, menilai, kejahatan siber pada transportasi daring marak terjadi di berbagai negara. Fenomena itu muncul akibat dari sistem perusahaan tidak dilengkapi dengan program keamanan yang mumpuni.
“Pelaku kejahatan menggunakan GPS palsu dan aplikasi yang membuat mereka langsung mendapatkan pesanan,” kata Pratama. Ia menekankan, pencegahan jauh lebih baik daripada terus menerus menangkap pelaku kejahatan.
Presidium Indonesia Transportation Society atau Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muslich Zaimal Asikin, menambahkan, kebutuhan masyarakat kepada transportasi daring tidak bisa dihindari.
“Kajian yang MTI lakukan menemukan, jumlah perjalanan ojek daring mencapai 2,5 juta perjalanan per hari,” ucapnya. Angka itu mengalahkan jumlah perjalanan Transjakarta dan Kereta Rel Listrik Jabodetabek per harinya. Transportasi daring dinyatakan memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).