JAKARTA, KOMPAS — Subsidi energi tahun 2019 berpotensi bertambah. Subsidi tersebut terdiri dari subsidi tetap solar, subsidi listrik, dan subsidi elpiji. Sejumlah anggota DPR mewacanakan subsidi untuk bahan bakar minyak jenis pertamax.
Dalam rapat kerja pembahasan asumsi makro sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) di Komisi VII DPR, Selasa (5/6/2018), di Jakarta, Kementerian ESDM mengusulkan penambahan volume solar bersubsidi pada 2019 sebesar 16,17 juta kiloliter sampai 16,5 juta kiloliter. Tahun ini, volume solar bersubsidi ditetapkan sebanyak 15,62 juta kiloliter.
”Kami juga mengusulkan besaran subsidi tetap solar berkisar Rp 1.500 per liter sampai Rp 2.000 per liter untuk tahun 2019,” ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Saat ini, subsidi tetap solar sebesar Rp 500 per liter. Dalam pembahasan APBN 2018, Kementerian ESDM sebenarnya mengusulkan besaran subsidi tetap solar Rp 750 per liter. Namun, usulan tersebut ditolak Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR. Naiknya harga minyak mentah dan volume yang meningkat menjadi alasan perlunya subsidi tetap solar ditambah.
Sementara subsidi listrik pada 2019 diusulkan sebesar Rp 53,96 triliun sampai Rp 58,9 triliun. Adapun besaran subsidi listrik tahun ini sebesar Rp 52,66 triliun. Realisasi subsidi listrik hingga Mei 2018 sebesar Rp 18,96 triliun.
Kenaikan subsidi juga terjadi pada elpiji. Tahun depan, volume elpiji 3 kilogram yang disubsidi diusulkan sebesar 6,825 juta ton sampai 6,978 juta ton. Adapun volume elpiji 3 kilogram tahun ini ditetapkan 6,45 juta ton.
Subsidi pertamax
Sejumlah anggota Komisi VII mempertanyakan kebijakan penambahan alokasi volume BBM jenis premium. Tahun ini, volume premium ditambah menjadi 11,8 juta kiloliter atau naik dari kesepakatan sebelumnya yang sebesar 7,5 juta kiloliter. Padahal, pemerintah sebelumnya berencana menghapus peredaran premium.
Pemerintah sebaiknya mengevaluasi kebijakan subsidi untuk premium.
”Premium sudah ditinggalkan banyak negara. Ini, kan, kontradiktif dengan menambah volume premium. Padahal, Indonesia adalah negara yang aktif mendukung konferensi perubahan iklim,” kata Bara K Hasibuan dari Partai Amanat Nasional.
Sementara itu, Kardaya Warnika dari Partai Gerindra menuturkan, pemerintah sebaiknya mengevaluasi kebijakan subsidi untuk premium. Sebagai BBM yang kotor dan tak ramah lingkungan, subsidi untuk premium dipertanyakan. Sementara bahan bakar yang lebih ramah lingkungan tidak mendapat subsidi.
”Saya setuju harga BBM murah. Tapi, bahan bakar yang disubsidi lebih baik yang jenisnya bagus dong. Kenapa tidak pertamax saja yang disubsidi,” ucap Kardaya.
Menanggapi pernyataan anggota Dewan tersebut, Jonan berpendapat, perlu keterlibatan Kementerian Perindustrian untuk mengurangi konsumsi premium. Caranya, dengan mendorong industri otomotif agar memproduksi mesin kendaraan yang desainnya tidak cocok untuk premium. Dengan cara itu, lambat laun premium akan ditinggalkan konsumen.
”Benar bahwa masyarakat membutuhkan harga BBM yang murah. Silakan saja pertamax disubsidi dan lainnya dihapus. Ini perlu pembahasan tersendiri,” kata Jonan.