JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian global yang meningkat intensitasnya pada tahun ini masih akan berlanjut pada 2019. Atas pertimbangan itu, proyeksi awal terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun depan berkisar 5,2-5,6 persen.
Pemerintah dan DPR mulai menggelar pembahasan tentang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Tahun Anggaran 2019 pada akhir Mei. Selanjutnya, proses pembahasan dilakukan dalam rapat kerja di Komisi XI DPR.
Dalam pembahasan pendahuluan, Selasa (5/6/2018), pemerintah dan DPR menyepakati asumsi makro Rancangan APBN 2019. Asumsi tersebut masih berupa proyeksi awal sehingga pemerintah bertugas membuat target yang lebih mengerucut.
Pertumbuhan ekonomi ditargtetkan 5,2-5,6 persen. Adapun inflasi berkisar 2,5-4,5 persen. Nilai tukar rupiah berkisar Rp 13.700 hingga Rp 14.000 per dollar AS. Sementara imbal hasil Surat Perbendaharaan Negara berkisar 4,8-5,2 persen.
Adapun tingkat pengangguran terbuka ditargetkan 4,8-5,2 persen dari total angkatan kerja. Angka kemiskinan ditargetkan 8,5-9,5 persen dari total jumlah penduduk. Rasio gini berkisar 0,38 sampai dengan 0,39. Sementara indeks pembangunan manusia ditargetkan 71,98.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam dialog dengan wartawan dalam acara buka puasa bersama, Selasa, menegaskan, kebijakan makro akan fokus pada stabilisasi sektor keuangan. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tahun ini akan sedikit tertekan.
Namun, pemerintah bersama Bank Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya berkomitmen untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilakukan melalui berbagai instrumen yang dimiliki.
Pemerintah, misalnya, memiliki instrumen insentif fiskal. Sejak awal 2018, pemerintah telah meluncurkan sejumlah insentif, antara lain pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan pada periode tertentu dan pengurangan PPh badan pada periode tertentu. Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan beberapa skema insentif lain, salah satunya untuk usaha kecil dan menengah.
Akan tetapi, lanjut Sri Mulyani, masyarakat dan pelaku usaha juga harus memitigasi risiko masing-masing. Risiko ini bisa ditelusuri dari bidang usaha yang rentan terkena gejolak dan dari neraca keuangan.
”Daerah-daerah mana yang kemungkinan akan terekspos terhadap guncangan. Dari sisi utang, misalnya, apakah sudah dilindung nilai. Kalau utang, apakah punya cadangan untuk membayar, dan seterusnya. Semua harus melihat kondisinya masing-masing,” tutur Sri Mulyani.
Normalisasi di Amerika Serikat akan berlangsung 18 bulan. Tahun ini akan ada kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3-4 kali. Tahun depan juga masih akan ada kenaikan. ”Artinya, gejolak ini tidak akan terjadi Mei saja, tapi agak sedikit lama,” lanjutnya.
Sri Mulyani mengimbau pelaku usaha dan masyarakat terus beraktivitas. ”Dunia usaha tetap bisa melakukan aktivitas. Bahkan, kalau melihat situasi ini, mungkin ada peluang baru,” ujarnya.
Penting
Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM A Tony Prasetiantono berpendapat, kesepakatan awal asumsi makro 2019 penting bagi pelaku ekonomi. Sebab, asumsi itu akan menjadi panduan arah ke depan.
”Hal paling krusial, saat volatilitas rupiah cukup besar adalah berapakah nilai tukar rupiah yang adil atau mencerminkan fundamennya? Pemerintah harus punya angka yang menjadi aspirasinya, harus dijaga dengan baik oleh BI sehingga menimbulkan kepercayaan bagi investor,” kata Tony.