JAKARTA, KOMPAS - Lebih dari setahun sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Pekerja Maritim, pekerja di kapal nonperikanan belum merasakan adanya upaya lebih jauh dari pemerintah meningkatkan perlindungan hak mereka. Pemerintah juga dinilai masih abai terhadap nasib tenaga kerja perikanan.
"Kami mengamati belum ada langkah berarti yang dilakukan pemerintah. Dalam hal sosialisasi skema perlindungan arahan konvensi, misalnya, masih banyak pekerja belum memahami," ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, yang dihubungi, Kamis (7/6/2018), di Jakarta.
Selain itu, lanjut dia, mekanisme pemberangkatan pekerja migran Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan maupun nonperikanan tidak mengalami banyak perubahan. Sebagai contoh, masih terjadi kasus pemalsuan dokumen tenaga kerja, proses pendidikan kelautan tidak dilakoni sebagaimana semestinya, dan pekerja tidak dilibatkan dalam perumusan perjanjian kerja.
Mengutip laporan Ocean Beyond Piracy tahun 2016, Abdul menyebutkan, terdapat sebanyak 314 insiden perompakan dan perampokan bersenjata kapal di perairan wilayah Asia, Afrika Timur, dan Afrika Barat. Akibatnya, sekitar 4.749 pelaut menjadi korban dan nilai kerugian yang ditimbulkan mencapai 2,5 miliar dollar AS.
Laporan yang diterbitkan organisasi sama menyebutkan, sebanyak 19 insiden perompakan dan perampokan bersenjata terjadi di perairan Indonesia pada triwulan I-2017.
"Kementerian Ketenagakerjaan perlu duduk bersama dengan Kementerian Kelautan Perikanan untuk melakukan harmonisasi kebijakan. Sosialisasi MLC juga seharusnya lebih digencarkan," kata Abdul.
Ketua Umum Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI) Soelistiyanto mengemukakan, tenaga kerja yang bekerja di sektor perikanan atau nelayan kerap mengalami pengabaian hak. Perhatian negara dirasa masih minim.
"Jangan berbicara panjang lebar dulu mengenai nasib pekerja di sektor perikanan atau biasa disebut nelayan. Di Indonesia, kegiatan \'perikanan\' belum mempunyai cakupan definisi yang baku. Pemerintah masih suka menyamakan aktivitas pelayaran dan perikanan, padahal keduanya sangat berbeda," ujar dia.
Lebih jauh, lanjut Soelistiyanto, upaya mendasar dan mendesak yang harus segera dikerjakan pemerintah adalah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 188 Tahun 2007. Konvensi ini mengatur tentang pelaut di sektor perikanan.
Dia menceritakan, perhatian pemerintah tak kalah penting seharusnya dialamatkan kepada pelaut sektor perikanan yang bekerja perusahaan asing di perairan luar Indonesia. Sejauh ini tiada peraturan spesifik mengakomodasi perlindungan hak-hak mereka.
Menurut Soelistiyanto, harapan sebenarnya ada pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Undang-undang ini mengatur perlindungan seluruh jenis tenaga kerja migran dan mengamanatkan sejumlah peraturan turunan, seperti peraturan pemerintah (PP).
Saran KPPI yaitu pemerintah harus merumuskan dua PP secara terpisah. PP pertama mengatur penempatan dan perlindungan pelaut di kapal-kapal niaga. PP kedua mengenai pelaut di kapal perikanan.
"MLC berbicara pelaut di kapal-kapal niaga. Sementara banyak pula pekerja Indonesia bekerja di kapal perikanan, bahkan sampai menjadi tenaga kerja migran," imbuh dia.
Sebagai gambaran, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia tahun 2014 menunjukkan jumlah penempatan nelayan Indonesia di kapal-kapal perikanan asing mencapai 4.810 orang. Sekitar 60 persen di antaranya mengalami pemalsuan dokumen bekerja, tidak dibekali pendidikan memadai, dan tidak dilibatkan dalam perumusan perjanjian kerja.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri dalam siaran pers, Selasa (5/6/2018), menegaskan komitmen pemerintah Indonesia mendukung pengesahan amandemen Konvensi Pekerja Maritim (Maritime Labour Convention/MLC) yang mengatur jaminan hak-hak keuangan bagi pelaut yang menjadi korban sandera bajak laut, atau perampokan di laut.
Menurut dia, salah satu substansi penting amandemen MLC adalah perjanjian kerja antara pelaut dan pemilik kapal tidak berhenti atau tidak dapat dihentikan pada saat mereka mengalami penyanderaan oleh bajak laut. Dengan demikian, mereka tetap memperoleh hak-haknya.
Substansi penting lainnya yaitu adanya jaminan repatriasi bagi pelaut yang menjadi korban penyanderaan bajak laut atau perampokan di laut. Hanya saja, hak repatriasi itu bisa hangus apabila pelaut tidak mengajukan hak tersebut dalam kurun waktu tertentu yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.
Amandemen MLC telah berlangsung dua kali. Amandemen MLC pada tahun 2014 mengatur mengenai jaminan keuangan bagi pelaut yang mengalami penelantaran serta kompensasi bagi pelaut yang meninggal dan mengalami cacat jangka panjang.
Sementara amandemen MLC pada tahun 2016 menyoal perlindungan kesehatan dan keselamatan serta pencegahan kecelakaan guna menghapuskan pelecehan dan perundungan di kapal. Indonesia telah meratifikasi MLC melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 yang disahkan pada tanggal 6 Oktober 2016.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.