Cegah Peredaran Barang Palsu, HKI Bisa Didaftarkan ke Bea dan Cukai
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemegang hak kekayaan intelektual dapat melakukan permohonan perekaman atau recordial ke Direktorat Jenderal Bea Cukai mulai 21 Juni 2018. Pendaftaran dilakukan agar peredaran produk palsu dan ilegal semakin terdeteksi, baik dari dalam maupun ke luar negeri.
Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Khoirul Hadziq menyampaikan, pemegang hak kekayaan intelektual (HKI) dapat mendaftar secara manual ataupun daring.
Pendaftaran dapat memudahkan Ditjen Bea dan Cukai untuk mempelajari jenis dan ciri-ciri produk pemegang HKI. Bea dan Cukai dapat segera mendeteksi dan menahan produk ekspor atau impor palsu atau ilegal.
Bea dan Cukai juga akan dapat mengidentifikasi jalur distribusi produk yang mencurigakan. ”Selama ini kita tidak bisa menilai barang impor itu palsu atau tidak karena tidak ada datanya,” kata Khoirul di Jakarta, Kamis (7/6/2018).
Ketika menemukan produk yang mencurigakan, Ditjen Bea dan Cukai akan melakukan penegahan. Penegahan dilakukan secara ex officio scheme, yakni berdasarkan kewenangan jabatan pejabat Bea dan Cukai yang hanya berlaku pada hak merek dan hak cipta.
Prosedur pengawasan HKI oleh Ditjen Bea dan Cukai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.04/2018 tentang Perekaman, Pencegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring, dan Evaluasi dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang yang Diduga merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
PMK tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pengendalian Ekspor atau Impor Barang yang Diduga merupakan atau Berasal dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual.
Ditjen Bea dan Cukai saat ini juga sedang dilibatkan dalam pembahasan dalam Peraturan Mahkamah Agung terkait proses penegahan di lapangan. ”Nanti, akan ada hakim yang hadir di lapangan saat kita melakukan penegahan, seperti sidang kilat,” katanya.
Direktur Merek Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Fathurrahman melanjutkan, permohonan recordial sebenarnya tidak wajib bagi pemegang HKI.
Kendati demikian, permohonan recordial perlu didorong sebab akan mencegah peredaran barang palsu dari hulu sebelum memberikan kerugian kepada pemilik usaha. Dengan demikian, kepastian berbisnis di Indonesia semakin terjamin.
Menurut Fathurrahman, terdapat 60.000-67.000 hak merek dan cipta yang didaftarkan per tahun. ”Setiap hari kami terima sekitar 300 pendaftaran merek dan 20 HKI,” kata Fathurrahman.
Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justisiari P Kusumah menambahkan, permohonan recordial akan memberikan perlindungan lebih kepada pemilik HKI dan konsumen pada umumnya.
Sosialisasi terkait pendaftaran HKI ke Bea dan Cukai perlu diberikan kepada seluruh pemilik HKI untuk meningkatkan pemahaman pentingnya melakukan perekaman data.
Dampak negatif
Lemahnya perlindungan HKI memiliki berbagai dampak negatif terhadap Indonesia. Perlindungan yang lemah membuat konsumen rentan terekspos produk palsu dan ilegal. Produk tersebut tidak memiliki jaminan kualitas dan keamanan. ”Misalnya, konsumen dapat mengonsumsi obat palsu atau membeli sparepart otomotif palsu,” ujar Khoirul.
Selain itu, organisasi kejahatan, seperti jaringan terorisme dan narkoba, juga didanai dari hasil kejahatan terhadap HKI. Perlindungan HKI yang lemah membuat organisasi kejahatan dapat tumbuh subur.
Dampak lain yang dialami Indonesia adalah rusaknya reputasi negara. Indonesia dikenal sebagai negara penampung sampah produk palsu. ”Misalnya, kita masuk dalam priority watch list Amerika Serikat sehingga berefek ke perdagangan internasional,” katanya.