JAKARTA, KOMPAS--Dunia usaha terbelenggu rezim kebijakan pemerintah pusat-daerah yang membebani bisnis. Situasi ini pada akhirnya membuat dunia usaha sulit meningkatkan ekspor karena kalah bersaing.
Sejak 2012, Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan. Artinya, Indonesia mengalami defisit valuta asing. Selama ini, situasi itu ditutup aliran modal dari luar negeri. Namun, model ini rawan membuat nilai tukar rupiah tertekan karena gejolak keuangan di luar negeri.
Model yang paling berkelanjutan adalah meningkatkan ekspor barang dan jasa. Persoalannya, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas, yakni minyak sawit dan batu bara, yang harganya bergejolak dan permintaan pasar globalnya menghadapi tantangan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita di Jakarta, Kamis (7/6/2018), menyatakan, pelaku usaha di dalam negeri sulit mengembangkan ekspor. Banyak produk dari dalam negeri yang kalah bersaing di luar negeri. Sebab, dunia usaha terbebani, antara lain, ketidakpastian hukum, biaya produksi yang tinggi, dan keterbatasan bahan baku di dalam negeri.
Semua persoalan ini, menurut Suryadi, bersumber dari kebijakan pemerintah pusat-daerah yang paradigmanya masih membebani dunia usaha, bukan mendukung dunia usaha. Persoalan seperti aturan yang tidak sinkron, aturan yang tumpang-tindih, dan aturan yang menambah beban pelaku usaha, masih jamak sampai hari ini.
Suryadi mengakui, pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, gencar melakukan deregulasi selama dua tahun terakhir. Akan tetapi, aturan yang kontraproduktif sudah telanjur menggunung dan pemerintah daerah memiliki kewenangannya sendiri. Akibatnya, persoalan ini sulit diselesaikan. Adapun sejumlah terobosan yang dilakukan, terkendala implementasinya.
Suryadi menambahkan, pemerintah belum selesai menjalin perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara tujuan ekspor potensial. Sementara, negara-negara lain sudah jauh-jauh hari menyelesaikannya. Akibatnya, produk Indonesia kalah bersaing karena terkena tarif.
”Untuk meningkatkan ekspor, pemerintah pusat dan daerah harus punya satu paket kebijakan," tegas Suryadi.
Industri digital
Pengembangan industri berbasis digital pada lima sektor industri dapat meningkatkan daya saing dan efisiensi industri. Melalui peningkatan daya saing dan efisiensi, diharapkan ekspor produk manufaktur dapat meningkat dan mampu menekan impor, terutama impor bahan baku dan bahan baku penolong. Dengan cara itu, defisit transaksi berjalan dapat dikurangi.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno menyampaikan hal itu di Jakarta, kemarin. "Prinsipnya, bagaimana membuat barang semakin bagus dan harga makin murah. Kuncinya, harus mengembangkan teknologi agar biaya produksi efisien dan produk yang dihasilkan lebih baik," katanya.
Pada triwulan I-2018, transaksi berjalan defisit 5,542 miliar dollar AS. Nilai itu setara dengan 2,15 persen produk domestik bruto RI. Pada triwulan I-2017, transaksi berjalan defisit 2,164 miliar dollar AS.
Benny melanjutkan, pengembangan industri berbasis digital atau industri 4.0 akan dilakukan di lima sektor industri, yaitu industri otomotif, kimia, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik. Kelima sektor industri ini didorong untuk mengembangkan riset dan teknologi melalui pemberian insentif.
Pemberian insentif, lanjut Benny, berupa pengurangan pajak 300 persen dari biaya riset atau pengembangan teknologi yang dikeluarkan. Dengan pengembangan industri berbasis digital pada lima sektor itu, diharapkan industri semakin efisien dan memiliki daya saing dengan menghasilkan produk berkualitas dan harga lebih murah untuk meningkatkan ekspor.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, ekspor produk pangan olahan pada 2017 sebesar 6,5 miliar dollar AS, sedangkan impornya 7,8 miliar dollar AS.
"Dengan demikian, terjadi defisit 1,3 miliar dollar AS," katanya.