Seusai sebuah diskusi ekonomi, seorang pengusaha mengatakan, sebenarnya kita semua sudah tahu semua persoalan ekonomi di Indonesia dan jawaban untuk mengatasinya. Namun, cara mengimplementasikan jawaban atas persoalan itu tidak lah mudah.
Misalnya, masalah defisit transaksi berjalan yang selalu menghantui ekonomi Indonesia. Defisit transaksi berjalan pada 2017 sebesar 17,52 miliar dollar AS atau 1,73 persen dari produk domestik bruto (PDB). Transaksi berjalan yang defisit, artinya kebutuhan dollar AS lebih besar daripada penghasilan dollar AS, membuat mata uang rupiah rentan terhadap gejolak mata uang, selain faktor ekonomi global.
Untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, cara paling ampuh adalah meningkatkan ekspor produk bernilai tambah dan jasa, tak hanya ekspor komoditas mentah. Cara lain, dengan meningkatkan investasi langsung, terutama investasi industri manufaktur berorientasi ekspor dan memberi nilai tambah. Bukan hanya investasi portofolio atau investasi langsung yang hanya memanfaatkan pasar domestik tanpa memberikan nilai tambah dan berorientasi ekspor.
Lalu, bagaimana meningkatkan ekspor produk dan jasa yang bernilai tambah dan meningkatkan investasi penanaman modal asing (PMA) berorientasi ekspor? Jawaban atas pertanyaan itu terkait dengan masalah daya saing nasional.
Hambatan daya saing menjadi "lagu lama" yang dinilai menghambat daya saing ekspor dan investasi, antara lain berupa ketidakpastian hukum atau regulasi terkait dunia usaha, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hambatan lain adalah infrastruktur terbatas, masalah perburuhan, serta pembiayaan di dalam negeri yang terbatas sehingga sektor swasta mencari pembiayaan dari luar negeri.
Terkait berbagai hambatan itu, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah membuat kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Dalam beberapa kesempatan, Presiden menekankan, negara atau bangsa yang bisa bersaing adalah bangsa yang memiliki kecepatan untuk berubah. Oleh karena itu, perizinan usaha yang berbelit-belit dan menyulitkan harus dipangkas dan disederhanakan.
Terkait infrastruktur, kebijakan Presiden Joko Widodo sangat jelas. Pembangunan jalan tol, bandara, dermaga, bendungan, akses transportasi di daerah perbatasan, dan kelistrikan yang sangat dibutuhkan untuk investasi atau pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, sudah dibangun secara luas dan terus ditingkatkan.
Berbagai kebijakan dan upaya pemerintah meningkatkan daya saing nasional sudah diakui dunia. Beberapa lembaga pemeringkat menaikkan peringkat daya saing Indonesia. Namun, masih ada persoalan besar, yakni bagaimana mengimplementasikan berbagai perubahan yang diinginkan presiden secara konsisten di lapangan. Disini lah pentingnya peran birokrasi di tingkat kementerian teknis dan pemerintah daerah.
Harus ada perubahan besar dalam mentalitas birokrat. Sebagai contoh, selama ini, produktivitas komoditas perkebunan, seperti kopi, karet, kakao, tebu, teh, kelapa, kelapa sawit, jagung, dinilai rendah. Bagaimana meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan yang memiliki peluang ekspor besar atau peluang bagi pengembangan industri pengolahan berbasis bahan baku komoditas perkebunan.
Peran birokrasi pemerintah daerah, seperti dinas pertanian atau perkebunan sangat penting dalam membuat program penyuluhan dan pembinaan kepada para petani secara masif dan terstruktur. Dengan demikian, produktivitas dan produksi komoditas perkebunan serta pendapatan petani meningkat.
Namun, tak mudah mengharapkan pejabat di daerah membuat program-program yang konsisten dan dapat meningkatkan produktivitas di daerah, membuat regulasi yang tak menyulitkan dunia usaha, atau membuat iklim usaha menjadi nyaman dan aman. Kondisi itu bisa dipenuhi jika ada syarat perubahan mentalitas birokrasi, baik di kementerian teknis atau di daerah.
Sebagai bagian dari kekuatan sumber daya manusia Indonesia, kualitas aparat birokrasi yang profesional, kompeten, berintegritas, dan mau melayani, cukup menentukan dalam peningkatan daya saing nasional. Jika daya saing tak kunjung meningkat akibat terhambat sumber daya manusia, maka kita akan tertinggal.