JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengintegrasikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN dengan PT Pertamina Gas atau Pertagas berpotensi kontraproduktif. Potensi kontraproduktif itu bisa terjadi jika integrasi dilakukan melalui mekanisme akuisisi yang memerlukan dana tunai besar. Integrasi PGN dan Pertagas merupakan bagian dari pembentukan perusahaan induk minyak dan gas bumi.
PGN dan Pertagas adalah anak usaha Pertamina. Kedua perusahaan itu berbisnis di bagian tengah atau distribusi dan bagian hilir gas bumi. Pertagas dominan dalam penguasaan pipa transmisi gas, sedangkan PGN dominan dalam hal pipa distribusi gas.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, ada tiga opsi integrasi PGN dengan Pertagas, yaitu merger, penyerahan saham, dan akuisisi. Merger dan penyerahan saham tidak memerlukan dana tunai, sedangkan akuisisi memerlukan dana tunai. Namun, proses akuisisi lebih cepat ketimbang merger dan penyerahan saham.
Valuasi atas kedua perusahaan tersebut memungkinkan dilakukannya akuisisi. ”Kalau akuisisi, seharusnya perusahaan yang 100 persen sahamnya dimiliki negara (Pertagas) yang mengakuisisi perusahaan yang saham negaranya sedikit (PGN). Apabila PGN yang mengakuisisi, perlu dana besar. Jika dananya kurang dan ditempuh penerbitan obligasi, beban keuangan Pertamina akan bertambah,” kata Marwan dalam diskusi ”Menyoal Rencana Akuisisi Pertagas oleh PGN”, Senin (11/6/2018) di Jakarta.
Marwan menambahkan, dalam tata kelola korporasi, mestinya Pertamina yang dominan melakukan integrasi antara Pertagas dan PGN, bukan pemerintah. Proses ini dilakukan pada saat jabatan Direktur Utama Pertamina dan Pertagas kosong dan Direktorat Gas Pertamina dibubarkan.
”Ini bisa mengundang tanya publik. Jangan sampai ada agenda tersembunyi yang ditumpangi oknum tertentu, seperti pemburu rente migas,” ujarnya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, apabila proses integrasi ini harus membelanjakan dana besar, dikhawatirkan dana itu dikompensasikan pada harga jual gas ke konsumen. Pada akhirnya, konsumen yang akan dirugikan. Namun, ia sependapat, mekanisme integrasi tetap harus di bawah Pertamina.
”Harus diambil pilihan yang paling efisien dalam integrasi ini. Jangan sampai mengeluarkan dana besar. Ini, kan, sama-sama anak usaha Pertamina,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pengintegrasian ini merupakan keniscayaan. Namun, perlu kejelasan peta jalan integrasi ataupun pembentukan perusahaan induk.
Integrasi PGN dan Pertagas harus mampu menyelesaikan persoalan harga gas yang tinggi dan menjamin ketersediaan infrastruktur. ”Pertanyaannya, apakah integrasi ini menyebabkan harga gas lebih murah? Apakah mata rantai pasok gas bisa lebih efisien? Ini yang mesti bisa terjawab,” kata Enny. Kementerian BUMN mengumumkan rencana integrasi PGN dengan Pertagas. Namun, belum diputuskan mekanisme integrasi tersebut.