JAKARTA, KOMPAS — Tumbuhnya antusias masyarakat untuk berwisata harus didukung oleh standar keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pengelolaan destinasi wisata. Kementerian Pariwisata dalam waktu dekat akan segera menyusun standar operasional pengelolaan destinasi pariwisata agar destinasi itu ramah terhadap anak.
”Sebenarnya, Sapta Pesona yang menjadi konsep dasar pengembangan pariwisata sudah mengakomodasi standar tersebut. Namun, ternyata dengan perkembangan yang ada, kita juga harus lebih detail lagi agar tempat wisata juga ramah pada anak,” kata Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenpar Rizki Handayani di Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Rizki mengatakan, saat ini perkembangan pariwisata sudah sangat jauh, tidak hanya taman rekreasi, tetapi juga sudah ke nomadic tourism, digital tourism, dan sebagainya. Belum lagi dengan perkembangan internet, yang membuat penyedia jasa open trip (di mana dan siapa saja bisa mengajak orang lain berwisata tanpa ada organisasi yang jelas), bermunculan sangat banyak.
Oleh karena itu, Kemenpar akan mengajak asosiasi dan penggiat pariwisata untuk merancang dan menyusun standar ini dalam waktu dekat. ”Dengan semakin banyaknya keluarga berwisata karena wisata sudah menjadi gaya hidup, kebutuhan akan standar ini akan sangat mendesak,” kata Rizki.
Saat musim libur seperti ini, sudah bisa dipastikan tempat-tempat wisata akan dibanjiri oleh pengunjung. Tentunya, di antara ribuan pengunjung itu jumlah anak-anak yang ikut juga sangat banyak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pusat Susanto mengatakan, kebutuhan anak untuk berekreasi harus difasilitasi. ”Namun, bagaimana caranya memfasilitasi sangat bergantung pada orangtua dan operator destinasi itu,” katanya.
Oleh karena itu, Kemenpar dan KPAI mengimbau agar orangtua dan operator bertanggung jawab penuh atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan anak. ”Dari sejak awal memilih ke mana mereka akan pergi harus dipikirkan orangtua dengan mempertimbangkan kondisi anak,” kata Susanto.
Perlindungan anak bisa berupa penempatan rambu-rambu keamanan dan keselamatan yang jelas, serta menempatkan petugas jaga di lokasi-lokasi rawan.
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan, ada banyak kasus di mana keselamatan anak tidak terlindungi saat berwisata. Misalnya, terpisah dari orangtua, mengalami kecelakaan, dipekerjakan, mengalami pelecehan seksual, hingga diculik atau dibunuh.
Ai mengatakan, data yang dihimpun KPAI menunjukkan, sepanjang tahun 2011-2017 ada 1.758 kasus penjualan anak (trafficking) dan eksploitasi anak. Anak-anak berusia 15-17 tahun itu diculik di tempat wisata, diskotek, karaoke, hiburan malam, dan sebagainya.
”Sementara untuk periode Januari-April 2018 ada 8 trafficking, 13 eksploitasi seks anak, 9 prostitusi, dan 2 ekspolitasi anak. Pada bulan Mei ada 3 anak dieskploitasi dan dibawa ke Papua, kemudian ada juga satu anak dijual orangtuanya di Blitar,” kata Ai.