Tahun ini, konsumsi rumah tangga sebenarnya diharapkan melonjak setelah tumbuh stagnan selama 2015-2017. Sejumlah upaya dilakukan pemerintah. Namun, hasil akhirnya, tampaknya tak akan sesuai harapan.
Rumah tangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa. Pengeluaran setiap rumah tangga bervariasi, bergantung pada tingkat pendapatan. Untuk rumah tangga berpendapatan rendah, mayoritas pendapatan dibelanjakan untuk kebutuhan pokok. Sementara, untuk rumah tangga berpendapatan menengah-atas, pengeluarannya semakin bervariasi.
Secara agregat, konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) di Indonesia. Setiap tahun, kontribusinya 55-56 persen dari PDB.
Disamping itu, konsumsi rumah tangga merupakan variabel permintaan terhadap penjualan berbagai barang dan jasa yang diproduksi tenaga kerja dan perusahaan di dalam negeri. Artinya, gairah belanja rumah tangga menjadi determinan pelaku usaha dalam melakukan ekspansi.
Dari sisi pasokan, hal ini berkaitan dengan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Investasi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi terbesar kedua setelah konsumsi rumah tangga. Kontribusinya terhadap PDB sekitar 32 persen. Di sinilah arti penting konsumsi rumah tangga dalam pertumbuhan ekonomi.
Pada 2011-2014, ketika terjadi ledakan harga komoditas, pertumbuhan konsumsi rumah tangga konsisten di atas 5 persen, yakni berturut-turut 5,05 persen; 5,49 persen; 5,38 persen; dan 5,14 persen. Memasuki 2015, ketika dampak ledakan harga komoditas usai, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,96 persen. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,01 persen. Pada 2017, konsumsi rumah tangga tumbuh melambat lagi, yakni 4,95 persen.
Tahun ini, pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional 5,4 persen. Untuk mencapai target tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengasumsikan konsumsi rumah tangga harus tumbuh 5,3-5,4 persen.
Pada triwulan I-2018, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen. Tahun lalu, pada periode yang sama, tumbuh 4,94 persen. Artinya, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan I-2018 relatif stagnan.
Dengan demikian, untuk mencapai asumsi pertumbuhan 5,3-5,4 persen sepanjang tahun, diperlukan percepatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tiga triwulan berikutnya.
Tantangan dan peluang yang dihadapi pada tahun ini, konsumsi rumah tangga mengalami dua tarikan dari dua kutub sekaligus. Kutub pertama menarik konsumsi rumah tangga ke medan magnet yang mendorong gairah berbelanja. Faktor di dalamnya antara lain pemilihan kepala daerah serentak di 119 daerah, Asian Games pada Agustus di Jakarta dan Palembang, dan pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia pada Oktober di Bali.
Faktor lain adalah program padat karya tunai. Ini adalah kebijakan pemerintah yang mewajibkan 30 persen dari dana desa untuk upah pekerja. Jika pagu dana desa tahun ini Rp 60 triliun, maka alokasi upah pekerja adalah Rp 18 triliun.
Pemerintah melalui APBN juga menggelontorkan dana Rp 35,76 triliun untuk Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji atau pensiun ke-13 kepada aparatur negara, pejabat negara, dan pensiunan. Pemerintah juga mengalokasikan THR untuk pegawai honorer pemerintah pusat senilai Rp 440,38 miliar.
Sementara, kutub lain secara mekanis menarik konsumsi rumah tangga ke medan magnet yang sifatnya menahan gairah belanja. Faktor di dalamnya antara lain kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Kenaikan suku bunga acuan merupakan keniscayaan kebijakan moneter di tengah depresiasi rupiah akibat kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Kenaikan suku bunga acuan di dalam negeri akan menaikkan suku bunga kredit konsumsi dan berbagai instrumen keuangan lainnya pada 1-2 bulan mendatang.
Faktor lain adalah preferensi masyarakat yang masih ingin lebih banyak menabung ketimbang belanja. Hal ini sudah terjadi pada tahun lalu. Faktor yang tak kalah penting adalah depresiasi rupiah dan kenaikan harga minyak dunia. Depresiasi rupiah berpotensi menurunkan daya beli dan gairah belanja. Depresiasi rupiah dalam persentase yang tinggi akan menyebabkan kenaikan harga barang yang mengandung komponen impor. Sementara, kenaikan harga minyak dunia akan menyulitkan pemerintah dalam mengelola APBN 2018. Jika subsidi bahan bakar minyak (BBM) ditambah, belanja pemerintah akan terganggu. Kalau harga BBM dinaikkan, daya beli masyarakat akan turun.
Situasi ini tidak mudah. Namun, bukan berarti usaha mendorong konsumsi rumah tangga mati angin. Meski tak bisa sesuai asumsi, setidaknya konsumsi rumah tangga harus didorong sampai dengan titik tumbuh maksimalnya. Di atas 5 persen, kenapa tidak?
Masih ada waktu. Kerja sama pemerintah pusat-daerah dan pelaku usaha untuk menciptakan program belanja massal kreatif bisa menjadi ikhtiar konkret. (FX LAKSANA AS)