JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah diminta berkomitmen membenahi program kapal bantuan nelayan. Program tersebut ditengarai masih menuai banyak masalah di daerah.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata di Jakarta, Rabu (13/6/2018), mengemukakan, program yang digulirkan pemerintah belum optimal dinikmati dan dirasakan nelayan di Nusantara.
Di Kalimantan Utara, bantuan 9 unit kapal nelayan -yang merupakan program pengadaan tahun 2016- baru diterima nelayan pada April 2017. Namun, kapal-kapal itu kini mangkrak.
“Hal ini menunjukkan Kementerian Kelautan dan Perikanan masih lemah dalam mengelola keuangan dan mengimplementasikan program. Selain itu, tidak bersungguh-sungguh memastikan program pemerintah diterima nelayan,” ujarnya.
Menurut Thamrin, nelayan dari Pulau Sebatik, kapal bantuan berukuran 12 gross ton (GT) yang diterima kelompoknya tidak disertai dokumen kapal. Akibatnya, nelayan tidak bisa menggunakan kapal tersebut untuk melaut.
Spesifikasi kapal juga tidak sesuai model kapal yang pernah diusulkan kepada
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Untuk itu, kapal harus dimodifikasi. Padahal, untuk memodifikapal, nelayan memerlukan modal tambahan.
Nelayan juga masih kesulitan untuk mengakses bahan bakar minyak (BBM) yang cukup. Program bantuan kapal bagi nelayan dinilai belum menjamin fasilitas terhadap akses pasar untuk menjual ikan.
“Nelayan akhirnya lebih memilih menjual ikan ke Malaysia yang harganya lebih tinggi,” kata Thamrin.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menyoroti serapan APBN 2017 di sektor Perikanan, khususnya dalam hal pengadaan kapal. Menurut catatan KIARA, KKP hanya mampu menyediakan kapal penangkap ikan berukuran di bawah 10 GT sebanyak 601 unit. Kapal lain yang bisa disediakan KKP berukuran 10-20 GT sebanyak 148 unit, dan kapal berukuran 30 GT sebanyak 6 unit. Padahal, sebelumnya, KKP menetapkan pengadaan 2.500 unit kapal perikanan.
Evaluasi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan , Abdul Halim, mengemukakan, program pengadaan kapal bantuan -yang hingga kini banyak masalah- merupakan catatan bagi pemerintah. Pemerintah akan segera mengevaluasi program tersebut.
Berdasarkan data Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, kapal bantuan yang mangkrak tersebar di beberapa wilayah, antara lain 1 unit kapal di Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara), 2 unit kapal di Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), serta 3 unit kapal di Lombok Timur dan 1 kapal di Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat).
Kapal-kapal itu mangkrak karena belum dilengkapi dokumen dan peralatan tangkap.
Selain itu, sekitar 60 persen dari 92 unit kapal bantuan KKP di Pulau Bawean (Jawa Timur), rusak.
“Evaluasi perlu dilakukan secara menyeluruh terkait dengan perencanaan jumlah kapal, lelang, dan impelementasi pengadaan, distribusi, dan pengoperasian kapal,” kata Halim.
Persoalan serupa terjadi di Lombok Timur. Ada 2 unit kapal Inka Mina Maritim berukuran 30 GT yang belum memiliki kelengkapan administrasi perikanan dan peralatan tangkap. Akibatnya, kapal bantuan tersebut belum bisa dioperasikan.
Amin Abdullah, Pengurus Koperasi Nelayan Sabuk Hijau di Desa Jero Waru, Lombok Timur, mengungkapkan, koperasi itu memperoleh bantuan pengadaan kapal pada 2017 dan diserahterimakan pada April 2018. Namun, kapal belum bisa dioperasikan karena belum dilengkapi alat tangkap ikan dan kelengkapan dokumen.