Secangkir Kopi Toleransi
Bagi sebagian orang, kopi hanya minuman. Kenyataannya, kopi berperan jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Di Dampit, Kabupaten Malang, kopi menjadi perekat hubungan sosial.
Kabut mulai menipis saat orang berlalu lalang di jalanan Desa Srimulyo, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, Jawa Timur, akhir Mei lalu. Sekitar pukul 07.00, warga mulai keluar rumah untuk beraktivitas. Anak-anak berangkat sekolah, petani menuju ke kebun dengan bekal sabit, cangkul, serta pemburu membawa anjing untuk berburu ke hutan.
Kawasan di barat daya Gunung Semeru dengan ketinggian lebih kurang 800 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini merupakan salah satu kawasan tertinggi di pegunungan selatan Malang. Kanan-kirinya adalah hutan dan bukit berjurang.
Pagi itu, satu per satu orang mulai datang ke kebun Herianto (39), petani kopi Desa Srimulyo. Secara spontan, mereka segera melakukan tugas yang sudah dijelaskan pada pertemuan sepekan sebelumnya, yaitu membuat gandongan (lubang penampungan) di setiap tanaman kopi. Gandongan untuk menampung pupuk dan unsur hara bagi setiap tanaman. Sistem ini membuat akar tanaman kopi lebih mudah mendapat nutrisi.
”Aku sebelah endi iki? (saya di sebelah mana ini)?” Tanya petani yang baru datang belakangan. Petani lain yang sudah ada di kebun itu menunjukkan lahan di kemiringan yang belum digarap. Dengan cepat, lelaki yang membawa cangkul itu bergegas ke lokasi yang ditunjuk. Ia pun mulai menggali gandongan.
Arisan tenaga kerja
Hari itu 10 petani mengerjakan kebun kopi milik Herianto dan ayahnya. Jadwal kerja mereka adalah membuat gandongan dan wiwil (mengurangi daun). Ke-10 orang itu bukanlah pekerja Herianto. Mereka adalah petani yang mengikuti arisan tenaga kerja pada kelompok tani Tunas Baru dengan Herianto sebagai ketuanya. Hari Selasa itu, mereka giliran mengerjakan kebun milik Herianto.
”Arisan tenaga kerja dibuat untuk mengatasi makin sulitnya mencari tenaga kerja untuk kebun. Padahal kalau pengerjaan kebun terlambat, misal panennya telat, kualitas kopi akan turun. Yang rugi petani juga,” kata Herianto.
Arisan tenaga kerja diikuti 20-an orang. Mereka rutin bertemu dan membayar iuran Rp 25.000 sebulan sekali (Rp 20.000 diberikan kepada petani anggota, dan Rp 5.000 untuk keperluan administrasi kelompok). Pada saat itu biasanya juga ada pembekalan terkait pertanian kopi.
Adapun pengerjaan kebun biasanya dilakukan setiap Selasa dan Sabtu. Mereka bekerja mulai pukul 07.00 hingga pukul 15.00. Pada akhir kerja, akan dijelaskan tugas kerja berikutnya, lengkap dengan peralatan yang dibutuhkan.
Model arisan tenaga kerja ini menjadi salah satu keunikan dari Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno (Srimulyo, Sukodono, dan Baturetno). Mereka adalah kelompok petani kopi dari tiga desa di Kecamatan Dampit yang menerapkan praktik budidaya dan pengolahan kopi dengan baik (good agricultural practices). Model pertanian baik di antaranya mengurangi penggunaan pupuk kimia (mengarah ke organik), melakukan petik merah, dan menjemur kopi tidak di lantai, tetapi di atas para-para.
Untuk menerapkan model pengolahan kopi tersebut, dibutuhkan pekerja yang telaten. Itu sebabnya, pemilik kebun kopi biasanya membutuhkan bantuan tenaga kerja di kebun. Di sana, petani kopi memiliki lahan sekitar 1 hektar. Arisan tenaga kerja dinilai jadi solusi untuk membantu menggarap kebun. Pengolahan kopi pascapanen bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing.
Beragam
Mereka yang ikut arisan adalah petani pemilik kebun. Anggotanya tidak memandang status, agama, atau asal-usul. Kebetulan, kawasan Sridonoretno merupakan daerah dengan beragam suku dan agama. Ada pemeluk agama Islam, Katolik, dan penganut kepercayaan. Warga di sana juga berasal dari berbagai suku, seperti Malangan, Madura, Mataraman (Blitar Kediri, Nganjuk, dan sekitarnya), dan Pendalungan (Madura campuran).
”Kami punyanya kebun kopi, jadi sama-sama berusaha agar hasilnya baik. Kalau kebun kopi orang lain hasilnya baik, kami juga turut senang. Kami bisa belajar dari pemiliknya. Jika kebun kopi petani lain hasilnya jelek, kami pun bisa belajar dari mereka,” kata Herianto.
Kebun kopi mengikat perbedaan asal-usul, budaya, dan agama. Menjadikan petani bekerja sama dan saling menghormati. Saat awal panen tiba, mereka melakukan kenduri kecil-kecilan. Pemuka agama dan kepercayaan diberi kesempatan memimpin doa sesuai keyakinan masing-masing secara bergantian. Selanjutnya, menu kenduri dimakan bersama-sama.
Salah satu tokoh petani pendorong petik merah adalah Chatarina Sri Pujiastuti (50). Ia adalah petani perempuan, tokoh koperasi, sekaligus tokoh Katolik di Desa Baturetno. Chatarina adalah petani perempuan yang mendorong pertanian kopi petik merah. Ia mendorong kopi petik merah melalui istri-istri petani.
Perjuangan petani Sridonoretno mengupayakan kopi berkualitas bagus mulai menampakkan hasil. Kopi Sridonoretno laku dijual Rp 46.500 per kilogram. Ini jauh lebih mahal daripada kopi asalan yang dihargai Rp 26.000 hingga Rp 28.000 per kilogram.
Meski harga tinggi, tidak semua petani sanggup melakoni pengolahan kopi dengan baik. Saat ini dari 500-an anggota Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno, hanya 125 orang yang mau menerapkan petik merah dengan hasil 7 ton kopi. Padahal potensi kopi dari semua anggota kelompok bisa mencapai 500 ton.
Kopi Sridonoretno dijual ke 88 jaringan kedai di Jawa dan Bali. Kebutuhan puluhan kedai tersebut sebenarnya saat ini bisa sampai 50 ton sebulan. Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno menjual kopi melalui koperasi. Pemilik kedai mau membeli kopi Sridonoretno dengan harga tinggi karena mereka menerima kopi kualitas baik sehingga tidak perlu lagi diproses oleh kedai.
Asosiasi Petani Kopi Sridonoretno diinisiasi oleh Muhammad Nurudin, biasa disapa Gus Din (tokoh Nahdlatul Ulama asal Malang). Ia adalah Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API), yang salah satu aktivitasnya mendampingi petani kopi di Indonesia. Kelompok tani dampingan API lainnya adalah petani kopi Bajawa Flores dan Toraja.
Sekelompok kecil petani Sridonoretno seakan membuktikan teori sosiolog Perancis, Emile Durkheim, bahwa solidaritas mekanik (solidaritas tradisional didasari kesamaan nilai, kepercayaan, dan adat) dan organik (solidaritas modern didasari kebutuhan karena spesifikasi yang berbeda) pun mampu bersatu untuk kepentingan bersama.
Dalam sejarahnya, Malang Raya merupakan titik mula hadirnya kopi robusta di Indonesia. Buku 100 Tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 1911-2011 mencatat bahwa kopi robusta pertama kali masuk pada tahun 1900. Saat itu era di mana penyakit karat daun telah menghabisi tanaman kopi arabika di Indonesia.