JAKARTA, KOMPAS – Sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang rata-rata per tahun sebanyak 100.000 orang dinilai masih di bawah target. Tahun depan, pemerintah menargetkan 230.000 orang tenaga kerja konstruksi disertifikasi. Untuk itu, dana akan ditambah.
“Harusnya target kita 5 tahun itu sampai 950.000 orang pekerja, itu target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Artinya rata-rata sertifikasi per tahun setidaknya 150.000 tenaga kerja konstruksi. Saat ini rata-rata baru sekitar 100.000 orang per tahun. Target itulah yang kita kejar,” kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin akhir pekan lalu, di Jakarta.
Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi, menurut Syarif, sekitar 8,1 juta orang. Dari jumlah itu, yang sudah bersertifikat baru sekitar 700.000 orang. Sementara, RPJMN 2015-2019 menargetkan 950.000 orang tenaga kerja konstruksi dapat disertifikasi hingga akhir 2019.
Hingga saat ini, lanjut Syarif, rata-rata pekerja yang disertifikasi baru 100.000 orang per tahun atau sekitar 400.000 orang sejak 2015 hingga akhir tahun ini. Padahal, sertifikasi sebanyak 100.000 itu pun sudah melibatkan peralatan milik pihak lain, yakni penyedia jasa konstruksi. Jumlah itu masih di bawah target yang seharusnya 150.000 orang per tahun.
Menurut Syarif, keterbatasan peralatan menjadi salah satu hambatan dalam meningkatkan proses sertifikasi. Saat ini, kebanyakan peralatan untuk proses sertifikasi disewa dari pihak ketiga. Untuk itu, tahun depan pemerintah akan menambah anggaran untuk proses sertifikasi sebesar Rp 200 miliar. Tidak hanya untuk sertifikasi, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk menambah peralatan. Dengan demikian, sertifikasi diharapkan bisa lebih cepat.
“Jadi itu untuk meningkatkan sertifikasi dan menambah peralatan dalam proses sertifikasi. Sebab, saat ini peralatan yang digunakan kebanyakan disewa. (Tenaga kerja konstruksi) tidak tahu di mana harus latihan dengan peralatan tertentu. Misalnya, mau berlatih alat launcher itu tidak tahu harus berlatih di mana. Makanya kita akan buat itu,” ujar Syarif.
Secara terpisah, Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra Fary Djemy Francis mengatakan, Komisi V telah membahas program sertifikasi tenaga kerja konstruksi bersama pemerintah. Dari pembahasan tersebut, baru sekitar 10 persen tenaga kerja konstruksi yang telah disertifikasi dari total sekitar 7 juta tenaga kerja konstruksi. Sementara, kemampuan pemerintah untuk menyertifikasi sekitar 20.000 orang sampai 30.000 orang per tahun.
“Jika demikian, untuk menyertifikasi seluruh tenaga kerja konstruksi perlu waktu sampai 20 tahun. Apalagi ada beberapa kejadian kecelakaan konstruksi beberapa waktu lalu. Kami meminta pemerintah agar dibuat terobosan,” kata Fary.
Menurut Fary, Komisi V telah menyetujui usulan pemerintah untuk pengadaan kendaraan mobile training unit (MTU) yang bisa melatih dan menyertifikasi tenaga konstruksi dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu menjadi salah satu solusi keterbatasan alat di berbagai daerah. Namun demikian, Fary mengingatkan agar percepatan sertifikasi tenaga kerja konstruksi untuk mengejar target sertifikasi tidak mengorbankan kualitas tenaga kerja. (NAD)